Makalah Konstruktivisme Dalam Belajar


Makalah Konstruktivisme Dalam Belajar

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu prinsip Psikologi Pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswalah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri.

Pendekatan Konstruktivistik dalam belajar dan pembelajaran didasarkan pada perpaduan antara beberapa penelitian dalam psikolog kognitif dan psikolog sosial, sebagai teknik-teknik dalam modifikasi prilaku yang didasarkan pada teori operant condisioning dalam psikolog behavioral. Premis dasarnya adalah bahwa individu harus secara aktif „membangun‟ pengetahuan dan keterampilanya dan informasi yang ada diperoleh dalam proses membangun kerangka oleh pelajar dari lingkungan di luar dirinya.

Pendekatan konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pemikiran pelajar. Pengetahuan dikembangkan secara aktif oleh pelajar itu sendiri dan tidak diterima secara pasif dari orang disekitarnya. Hal ini bermakna bahwa pembelajaran merupakan hasil dari usaha pelajar itu sendiri dan bukan hanya ditransfer dari guru kepada pelajar. Hal tersebut berarti siswa tidak lagi berpegang pada konsep pengajaran dan pembelajaran yang lama, dimana guru hanya menuangkan atau mentransfer ilmu kepada siswa tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari siswa itu sendiri.

Menurut pandangan ahli konstruktivisme, setiap siswa mempunyai peranan dalam menentukan apa yang dipelajari. Penekanan diberi kepada siswa agar dapat membentuk kemahiran dan pengetahuan yaitu dengan mengaitkan pengalaman yang terdahulu dengan kegunaannya di masa depan. Siswa tidak hanya diberikan penekanan terhadap fakta atau konsep tetapi juga diberikan penekanan terhadap proses berpikir serta kemahiran berkomunikasi.

Dalam makalah ini akan dibahas secara lebih rinci mengenai Pandangan teori Konstruktivisme dalam belajar.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa dan darimanakah tumbuhnya aliran Konstruktivisme?

2. Apa yang menjadi kajian teori belajar Konstruktivisme?

3. Bagaimana pandangan para ahli konstruktivis tentang belajar?

4. Bagaimana pembelajaran konstruktivisme dalam mata pelajaran Matematika?


1.3. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui dan memahami apa dan darimana berasal aliran Konstruktivisme.

2. Mengetahui hal - hal yang menjadi kajian teori belajar Konstruktivisme.

3. Mengetahui bagaimana para ahli konstruktivis memandang belajar menurut perspektif mereka.

4. Mengetahui bagaimana pembelajaran konstruktivisme dalam mata pelajaran Matematika.

Baca : Anak Berbakat Gifted Children


PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme

Teori belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah laku pada pelajar. Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan tingkah laku kepada pelajar, contohnya dari tidak tahu kepada tahu. Hal ini, kemudian beralih kepada teori pembelajaran Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui struktur mental dikenal sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima, dipahami oleh manusia. Jika ide tersebut sesuai dengan skema, ide ini akan diterima, begitu juga sebaliknya dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme.

Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting. Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif.

Jadi, Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.

Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.

Von Glasersfeld mengatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan lingkungannya.

Menurut para penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau pengalaman yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui berinteraksi sosial dengan peserta didik lain atau dengan gurunya.

Konsep teori belajar konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam. Belajar merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan pengetahuan.

Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja.

B. Teori Belajar menurut Ahli Konstruktivisme

Saat ini, salah satu teori belajar yang banyak dipakai dalam proses pembelajaran adalah konstruktivisme. Di antara berbagai variasinya, terdapat dua jenis konstruktivisme yang paling menonjol yaitu konstruktivisme sosial (social constructivism) yang sering dikatakan sebagai kelanjutan dari hasil kerja Vygotsky serta konstruktivisme kognitif (cognitive constructivism) yang dipercaya berakar pada hasil kerja Piaget.

1. Teori Belajar Konstruktivisme Kognitif menurut Jean Piaget

Teori belajar konstruktivisme kognitif disumbangkan oleh Jean Piaget, yang merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor konstruktivisme.

Yang mengatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Pandangan-pandangan Jean Piaget seorang psikolog kelahiran Swiss (1896-1980), percaya bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.

Belajar menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu. Karena menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.

Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

Pembentukan pengetahuan menurut Jean Piaget memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:

Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.

Baca : Ekonomi Makro Pengangguran di Indonesia

Asimilasi adalah pemaduan data baru dengan struktur kognitif yang ada. Atau proses kognitif di mana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skema melainkan perkembangan skema. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru.

Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru. Dalam perjumpaan individu dengan lingkungan, akomodasi menyertai asimilasi. Terkadang, ketika dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru, seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium).

Sebagai Contoh, seorang anak yang merasa sakit karena terpercik api. Berdasarkan pengalamannya terbentuk skema kognitif pada diri anak tentang ”api”, bahwa api adalah sesuatu yang membahayakan oleh karena itu harus dihindari. Dengan demikian ketika ia melihat api, secara refleks ia akan menghindar. Semakin dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula. Ketika anak melihat ibunya memasak dengan menggunakan api, atau ketika ayahnya merokok; maka skema kognitif tersebut akan disempurnakan, bahwa api tidak harus dihindari akan tetapi dimanfaatkan. Ketika anak melihat banyak pabrik atau industri memerlukan api, kendaraan memerlukan api, maka skema kognitif anak semakin berkembang/sempurna menjadi api sangat dibutuhkan untuk kehidupan manusia.

Hal yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan sesuatu padanya, Piaget percaya bahwa belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan secara aktif darinya, dan ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan pilihan tentang hal yang dipelajari. Hal ini tidaklah meniadakan faktor guru dalam proses pembelajaran, justru sebaliknya lah yang terjadi. Pengajaran oleh guru yang mengajak siswa untuk bereksplorasi, melakukan manipulasi, baik dalam bentuk fisik atau secara simbolik, bertanya dan mencari jawaban, membandingkan jawaban dari siswa lain akan lebih membantu siswa dalam belajar dan memahami sesuatu.

2. Teori Belajar Konstruktivisme Sosial menurut Vygotsky

Secara umum, pendekatan konstruktivisme sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikontruksi secara bersama (mutual). Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama. Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran murid.

Dari Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individu ke kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dalam pendekatan konstruktivisme Piaget, murid mengkonstruksi pengetahuan dengan menstransformasikan, mengorganisasikan, dan mengoraginsasi pengetahuan sebelumnya. Konstruktivisme Vygotsky menekankan bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/ketrampilan. Maka bagi Vygotsky, ada dua prinsip penting berkenaan dengan teori konstruktivisme sosialnya, yaitu:

a. Mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan,

b. Zona of proximal development. Pendidik sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.

Konstruktivisme Vygoskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memulai adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.

Salah satu prinsip kunci yang diturunkan teori Konstruktivisme sosial adalah penekanan pada hakikat sosial dari pembelajaran. Vygotsky mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Berdasarkan teori ini dikembangkanlah pembelajaran kooperatif, yaitu siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya.

Selain itu, Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu :

1) Siswa mencapai keberhasilan dengan baik,

2) Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan,

3) Siswa gagal meraih keberhasilan. Jika siswa tidak mampu memecahkan masalahnya, maka guru/pendidik harus menggunakan scaffolding. Scaffolding, berarti memberikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.

Teori Konstruktivisme Vygotsky yang lain mengatakan bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam daerah perkembangan terdekat atau Zone of Proximal Development siswa. Daerah perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Tingkat perkembangan seseorang saat ini adalah tingkat pengetahuan awal atau pengetahuan prasyarat itu telah dikuasai, maka kemungkinan sekali akan terjadi pembelajaran bermakna.

Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka.

Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Karena menurut teori ini bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain, mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

Baca : Makalah Bani Umayyah

C. Hakikat Pembelajaran menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Akan tetapi siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pendidik atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.

Dalam hal ini, hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan siswa memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apa pun asal tujuan belajar dapat tercapai.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:

1) Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki,

2) Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,

3) Strategi siswa lebih bernilai,

4) Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:

1) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,

2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,

3) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,

4) Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,

5) Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,

6) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Oleh Brooks & Brooks mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi.

Mengajar berarti menata lingkungan agar si siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

Atas dasar ini, maka peran kunci pendidik dalam interaksi pembelajaran konstruktivisme adalah pengendalian, yang meliputi:

a. Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak;

b. Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.

c. Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.

Ada beberapa ciri-ciri dalam pembelajaran model konstruktivisme, yaitu:

 Mencari tahu dan menghargai titik pandang/pendapat siswa.

 Pembelajaran dilakukan atas dasar pengetahuan awal siswa.

 Memunculkan masalah yang relevan dengan siswa.

 Menyusun pembelajaran yang menantang dugaan siswa.

 Menilai hasil pembelajaran dalam konteks pembelajaran sehari-hari.

 Siswa lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengalaman/pengetahuan lama yang mereka miliki.

 Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan. Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi.

 Proses belajar harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan siswa untuk mengingat pelajaran lebih lama.

 Kontrol kecepatan, dan fokus pembelajaran ada pada siswa

 Pendekatan konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan apa yang dialami langsung oleh siswa.

D. Aplikasi Teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika

Nickson mengatakan bahwa pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivisme adalah membantu pembelajaran matematika membangun konsep-konsep, prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga prinsip atau konsep itu terbangun kembali dan transformasi dan informasi yang diperoleh menjadi konsep atau prinsip baru.

Menurut Hudojo (dalam Hermayani, 2008), ada tiga ciri yang harus dimunculkan dalam proses pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivisme yaitu sebagai berikut:

o Pebelajar harus terlibat secara aktif dalam belajarnya. Pebelajar belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir;

o Informasi baru harus diikutsertakan dengan informasi lama sehingga menyatu dengan skemata (struktur kognitif) yang dimiliki oleh pebelajar;

o Orientasi pembelajarannya berdasarkan pemecahan masalah.

Menurut Davis (dalam Hermayani, 2008) pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran matematika berorientasi kepada:

o Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.

o Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah pebelajar dihadapkan kepada “apa”.

o Informasi baru dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan dan mengintepretasikan pengalamannya.

o Pusat pembelajaran adalah bagaimana pebelajar berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis. Sehinnga proses konstruksi pengetahuan terjadi di dalam benak siswa sendiri melalui proses internalisasi.

Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Dalam hal ini fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berpikir mengkonstruk pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli sebelumnya. Evaluasi dalam pembelajaran matematika secara konstruktivis terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assesment)

Dengan demikian ada suatu perbedaan yang sangat berarti antara pembelajaran matematika menggunakan paradigma konstruktivisme dan pendekatan tradisional. Di dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksikan) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam paradigma tradisional, guru mendominasi pembelajaran dan guru sanantiasa menjawab „dengan segera„ terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa.

Baca : Bentuk dan Kedaulatan Negara Sesuai UUD 1945

Implikasi dari perbedaan-perbedaan di atas menjadikan posisi guru dalam pembelajaran matematika untuk bernegosiasi dengan siswa, bukan memberikan jawaban akhir yang telah jadi. Negosiasi yang dimaksudkan di sini adalah berupa pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang menantang siswa untuk berpikir lebih lanjut yang dapat mendorong mereka sehingga penguasaan konsepnya semakin kuat. Tidak hanya itu, implikasi pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika, guru akan bertindak sebagai mediator dan fasilitator yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri siswa.

Pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan konstruktivis, maka strategi yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah dengan pemberian tugas rumah, karena dapat memberikan suatu motivasi kepada siswa untuk memahami suatu konsep secara utuh melalui pengerjaan tugas dengan kondisi dan situasi yang tidak hanya terpaku pada ruang kelas dan keterbatasan waktu dalam proses belajar. Siswa dapat berusaha memahami suatu masalah beserta pemecahannya berdasarkan kecepatan dan kemampuannya sendiri. Dengan demikian diharapkan dapat memberi suatu motivasi kepada siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran dan menimbulkan tangggapan positif terhadap matematika.



PENUTUP

A. Simpulan

 Teori belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner.

 Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.

 Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme.

 Konstruktivisme mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja.

 Teori Belajar Konstruktivisme Kognitif menurut Jean Piaget mengatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Jean Piaget seorang psikolog kelahiran Swiss (1896-1980), percaya bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik.

 Teori Belajar Konstruktivisme Sosial menurut Vygotsky menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikontruksi secara bersama (mutual). Bagi Vygotsky, ada dua prinsip penting berkenaan dengan teori konstruktivisme sosialnya, yaitu:

i. Mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan,

ii. Zona of proximal development. Pendidik sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.

 Atas dasar ini, maka peran kunci pendidik dalam interaksi pembelajaran konstruktivisme adalah pengendalian, yang meliputi:

o Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak;

o Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.

o Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.

 Di dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksikan) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika.

B. Saran

Jika guru mengetahui bahwa anak-anak mengkonstruksi sendiri pengetahuan logika matematiknya dari dalam dirinya sendiri, maka guru mendorongnya untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan pikirannya dan mendorongnya untuk merubah pandangan-pandangan diantara mereka sendiri. Jika anak diyakinkan bahwa anak-anak lain mempunyai pandangan atau cara menjawab yang lebih baik maka pandangan atau cara menjawab anak itu akan dapat berubah. Guru mendorong anak-anak untuk membangun dasar yang kuat yang memungkinkannya sampai pada pengkonstruksian berpikir tingkat tinggi.