Makalah Bani Umayyah


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 

Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya. 

Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi kerajaan. 

Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam.[1]


B. Rumusan Masalah 

1. Siapa pendiri Dinasti Bani Umayyah? 

2. Bagaimana pola pemerintahan Dinasti Bani Umayyah? 

3. Ekspansi wilayah Dinasti Bani Umayyah? 

4. Bagaimana peradaban Islam pada Masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah? 



PEMBAHASAN 

A. Sejarah Berdirinyn Dinasti Umayyah 

Nama Dinasti amayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh penting ditengah Quraisy pada masa Jahiliah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abd Manaf selalu bertarung dalam merebutkan kekuasaan dan kedudukan.[2] Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb. Muawiyah di samping sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan islam dari Kufah ke Damaskus. 

Hampir semua sejarawan membagi Dinasti umayyah (Umawiyah) menjadi dua yaitu pertama, Dinasti umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyyah Ibn Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (Siria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem kerajaan atau monarki, dan kedua, Dinasti umayyah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayah di bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid Ibn Abd Al-Maliki kemudian diubaha menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah berhasil menaklukkan Dinasti Umayyah di Damaskus.[3]

B. Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. 

Dinasti Bani Umaiyah berkuasa selama kurang lebih 90 tahun (41- 132 H/661-750 M). Setelah Muawiyah memindahkan pusat pemerintahan dari kota Madinah (Kuffah ke Damaskus, maka pemerintahan Muawiyah berubah bentuk dari Theo-Demokrasi menjadi Manarchi (kerajaan/dinasti) hal ini berlaku semenjak ia mengangkat putranya Yazid sebagai putra mahkota. Kebajikan yang dilakukan oleh Muawiyah ini dipangaruhi oleh tradisi yang terdapat dibekas wilayah kerajaan Bizantium yang sudah lama dikuasai oleh Muawiyah, semenjak dia diangkat menjadi Gubernur oleh Umar Ibn Khatab di Suriah. Setelah Muawiyah meninggal dunia orang-orang keterunan Umayyah mengangkat Yazid bin Muawiyah menjadi Khalifah sebagai pengganti ayahnya. semenjak itu sistim pemerintahan Bani umayyah memakai sistim turun-temurun sampai kepada Khalifah Marwan bin Muhammad. Marwan bin Muhammad tewas dalam pertempuran melawan pasukan Abdul Abbas As-Safah dari Bani Abas pada tahun 750 M. dengan demikian berakhir Dinasti Bani Umayyah dan diganti oleh Dinasti Bani Abbasiyah setelah memerintah lebih kurang 90 tahun. 

Atas perubahan bentuk pemerintahan dari demokrasi ke munarchi, menimbulkan pertentangan dua tokoh, yakni Husen bin Ali dengan Abdullah bin Zuber sehingga mumbuat Husen dan Abdullah meninggalkan kota Madinah. Adapun khalifah-khalifah terbesar Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sofyan (661-680 M), Abd Al-Malik bin Marwan (685-750 M), Al-Walid bin Abdul Malik (705-715), Umar bin Abdul Azis (717-720 M), Hasyim bin Abdul Malik (720-743 M), puncak kejayaan Dinasti Bani Umayyah terjadi pada masa Umar bin Abdul Aziz (717-720 M), setelah itu merupakan masa keruntuhannya. 

Muawiyah ibn Abi Sufyan berkata : 

Aku tidak akan menggunakan pedang jika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras.[4] 

Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H. 

Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah. 

Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredity (Kerajaan/Dinasti), yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah. 


Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya. 

Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan/Dinasti dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. 

Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin. 

Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga Raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa : 

1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M) 

2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M) 

3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M) 

4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M) 

5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M) 

6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M) 

7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M) 

8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M) 

9. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724) 

10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M) 

11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M) 

12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M) 

13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M) 

14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M) 

Para Sejarawan umumnya sependapat bahwa para khalifah terbesar dari Daulah Bani Umayyah adalah Mu’awiyah, Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz. 

D.Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah. 

Ekspansi/perluasan yang terhenti pada masa khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dilanjutkan kembali oleh Dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, dan Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh kekhalifahan Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan. 

Pada masa pemerintahan Muawiyyah terkenal sebagai era yang agresif karena perhatian terpusat kepada perluasan wilayah, dan kemajuan besarpun hadir dengan berhasilnya perluasan wilayah tersebut. 

Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam, menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pada saat itu, Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. 

Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah. 

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, Daerah-daerah 

tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan, Pakistan, Purkmenia, dan Kirgiztan yang termasuk sovyet (Rusia). Sampai akhirnya Dinasti ini dijuluki Dinasti Adi Kuasa. 

Penaklukan militer di Zaman Umayyah mencakup 3 Front penting, yaitu sebagai berikut: 

Pertama, Front melawan bangsa Romawi di Asia Kecil dengan sasaran utama pengepungan ke Ibu kota Konstantinopel, dan penyerangan ke Pulau-pulau dilaut tengah. 

Kedua, Front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga menyebrangi Selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol. 

Ketiga, Front Timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah disebrang sungai jihun (Ammu Darya), sedangkan lainya ke arah selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian Barat. 


Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelamahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar.Kemunduran Bani Umayyah disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: 

1. Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinansti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Mutholib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah. Dan kaum Mawali (non-Arab) yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah. Mereka orang non-Arab derajatnya dianggap lebih rendah, misalkan ada tunjangan dari negara maka tunjangan mereka harus lebih sedikit dari orang Arab. 

2. Pada Masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum islam semakin runcing. Perselisian ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan timur lainya merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperhatikan pada Masa Bani Umayyah. 

3. Kelalaian kholifah dalam urusan administratif dan tidak adanya perhatian terhadap tugas-tugas Negara membuat Bani Uamayah sangat tidak disukai. Para pejabatnya banyak yang koruposi, banyak yang mementingkan diri sediri dan akibatnya pemerintahan menjadi lamban dan tidak efisien. Persaingan antar suku yang sudah lama, tidak semakin membaik tetapi malah semakin buruk banyak penentangan dari kaum Syiah yang tidak melupakan tragedi Karbala. Ketidakacuan serta perlakuan kejam terhadap keluarga Nabi, kutukan terhadap khutbah-khutbah dan propaganda anti Bani Ali memeperkuat Bani Umayyah. Kaum Syiah memperoleh simpati rakyat karena kecintaan mereka yang sepenuh hati terhadap keturunan Nabi. 

4. Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik politik yang terjadi di Masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (Para Pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di Masa awal dan Akhir maupun secara tersembunyi seperti di Masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah. 

5. Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi Tradisi Arab, yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturanya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan Anggota keluarga istana. 

Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan Orang-orang Bani Abbasiyah yang menjalar-jalar dan membunuh setiap orang dari Bani Umayyah yang dijumpainya. 

Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifahan sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyah pada Masa Khalifah Marwan bin Muhammad pada tahun 127 H/744 M, (Khalifah terakhir dari Bani Umayyah).[5]

E.Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah. 

Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi, teknologi, maupun sosial kebudayaan. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Dinasti Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain: 

1.Bidang Politik : Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru, untuk memenuhi tuntutsn perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat Majelis Penasehat sebagai pendamping, Khalifah Bani Umayyah dibantu oeh beberapa orang sekertaris untuk membantu pelaksanaan tugas, yang meliputi : 

a. Katib Ar-Rasa’il, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan para pembesar setempat. 

b. Katib Al-Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara. 

c. Katib Al-Jundi, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan berbagai hal yang berkaitan dengan ketentraman. 

d. Katib Asy-Syurtah, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum. 

e. Katib Al-Qudat,sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.[6]

2.Bidang Sosial Budaya 

Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antar bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki tradisin yang luhur seperti ; Persia, Mesir, Eropa, dan sebagainya. Hubungan tersebut lalu melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni dan ilmu pengetahuan. Di Bidang Seni terutama seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah mencatat suatu pencapaian yang gemilang, seperti Home Of The Rock (Qubah Ash-Shakhra) di Yerussalem menjadi monumen terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya dikagumi orang. Perhatian terhadap seni sastra juga meningkat dizaman ini, terbukti dengan lahirnya tokoh-tokoh besar seperti Al-Ahtal, Farazdag, Jurair, dll. 

Pada masa itu Abul Aswad Ad-Duali (w. 681 M/62 H) Ulama’ (Bukan Sahabat), menyusun gramatika Arab dengan memberi titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak bertitik 9 (Wadi’un Nuqod ‘Alal Qulub). Usaha ini besar artinya dalam mengembangkan dan memperluas bahasa Arab, serta memudahkan orang membaca, mempelajari, dan menjaga barisan yang menentukan gerak kata dan bunyi suara serta ayunan iramanya, hingga dapat diketahui maknanya. Kerajaan inipun telah mulai menempatkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dengan mementingkan buku-buku bahasa Yunani dan Kopti (Kristen Mesir). 

Sudah ada titiknya tapi masih banyak orang non-Arab yang masih belum bisa membaca, maka Imam Kholil bin Ahmad Al-Farohidi membuat Sakl, Fathah, kasroh, dhommah, fathahtein, sukun,dll, (w. 165 H). 

Abu ‘Ubaid Qosim bin Salam (w. 224 H), membuat Tajwid.Dalam Bidang Peradaban Dinasti Umayyah telah menemukan jalan yang lebih luas ke arah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media utamanya. 

Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut: 

1. Pengembangan Bahasa Arab. 

Para Penguasa Dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai Daulah (Negara), kemudian dikuatkanya dan dikembangkanlah Bahasa Arab dalam wilayah Kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai Bahasa Resmi dalam tata usaha negara dan pemerintah sehingga pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa Romawi atau bahasa Persia di daerah-daerah bekas jajahan mereka dan di Persia sendiri. 

2. Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu. 

Dinasti Umayyah juga mendirikan sebuah Kota kecil sebagai pusat kegiatan IlmuPengetahuan dan Kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan Marbad, kota satelit dari Damaskus. Di Kota Marbad inilah berkumpul para pejangga, filsuf, ulama, penyair, dan cendikiawan lainya, sehingga kota ini diberi gelar Ukadz-nya Islam. 

3. Ilmu Qiraat. 

Ilmu Qiraat adalah ilmu seni baca Al-Qur’an. Ilmu Qiraat merupakan ilmu Syariat tertua, yang telah dibina sejak Zaman Khulafaur Rasyidin. Kemudian pada Masa Dinasti Umayyah dikembangluaskan sehingga menjadi Cabang ilmu Syariat yang sangat penting. Pada masa ini lahir para Ahli Qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w. 120 H) dan Ashim bin Abi Nujud (w. 127 H). 

4. Ilmu Tafsir. 

Untuk memahami Al-qur’an sebagai kitab Suci diperlukan interprestasi peahaman secara komprehensif. 

5. Ilmu Hadits. 

Ketika Kaum Muslimin telah berusaha memahami Al-Qur’an, ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang disebut Hadits. Oleh karena itu timbullah usaha untuk mengumpulkan Hadits, menyelidiki asal-usulnya, sehingga akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan Ilmu Hadits. Diantara para Ahli Hadits pada Masa Dinasti Umayyah adalah Al-Auzai Abdurrahman bin Amru (w. 159 H), Hasan Basri (w. 110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), dan Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil (w. 104 H).Khalifah Umar bin Abdul Aziz memanggil salah satu orang yang bernama Shihabuddin Romahurmuuzi, untuk membuat ilmu yang digunakan untuk menyeleksi Hadits, namanya : ilmu Mustholahul Hadits, 

6. Ilmu Fiqh. 

Setelah Islam menjadi Daulah, maka para penguasa sangat membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dan mengeluarkan Syariat dari kedua sumber tersebut untuk mengatur pemerintahan dan memimpin rakyat. Al-qur’an adalah dasar Fiqh Islam, dan pada zaman ini ilmu Fiqh telah menjadi satu cabang ilmu Syariat yang berdiri sendiri. Diantara ahli Fiqh yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurrahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah. 


7. Ilmu Nahwu. 

Pada Masa Dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang secara luas, khususnya ke wilayah di luar Arab, maka ilmu Nahwu sangat diperlukan. Hal tersebut disebabkan pula bertambahnya orang-orang Ajam (Non-Arab) yang masuk Islam, sehingga keberadaan Bahasa Arab sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, dibukukanlah ilmu Nahwu dan berkembanglah satu cabang ilmu yang penting untuk mempelajari berbagai ilmu Agama Islam.[7]

Contoh, membaca : Innallaha barii’um minal musyriki wa Rosuulih, (Salah), yang artinya: “sesungguhnya Allah tidak melindungi orang Musyrik dan tidak melindungi Rosulullah”. Yang benar: “Innallaha Barii’um minal Musyriki wa Rosuuluh”, yang artinya: sesungguhnya Allah tidak melindungi Orang Musyrik, dan Rosulullah pun tidak melindungi (Kata: wa Rosuuluh). 

8. Ilmu Jughrafi dan Tarikh. 

Jughrafi dan Tarikh pada Masa Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu Tarikh (ilmu Sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya. Adanya pengembangan dakwah islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu Jughrafi (Ilmu Bumi atau Geografi), demikian pula ilmu tarikh. Ilmu Jughrafi dan Ilmu Tarikh lahir pada masa Dinasti Umayyah, barulah berkembang menjadi suatu ilmu yang betul-betul berdiri sendiri pada masa ini. 

9. Usaha Penerjemahan. 

Untuk kepentingan pembinaan Dakwah Islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah dimulai pula penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian, jelaslah bahwa gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru berkembang secara pesat pada zaman Dinasti Abbasiyah. Adapun yang mula-mula melakukan usaha penerjemahan yaitu Khalid bin Yazid, seorang pangeran yang sangat cerdas dan ambisius. 

Pada masa Bani Umayah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abasiyah merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa Bani Umayah Ilmu Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang lebih menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadist. Khalifah Umar Bin Abdul Azis sangat menaruh perhatian yang besar kepada pengumpulan Hadist. Pengumpulan hadist dilaksanakan oleh ‘Asim al-Anshari. Pada masa ini muncul ahli-ahli hadist seperti Abu bakar Muhammad bin Muslim bin Abdillah al-Zuhri dan Hasan Basri. Disamping itu muncul pula ilmu tata bahasa Arab (Nahwu), Sibaweih menyusun Kitab tersebut untuk mempelajari bahasa Arab bagi orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Ini muncul karena wilayah Islam telah berkembang ke luar Jazirah Arab. Orang belum mengenal bahasa Arab, apalagi khalifah Abdul Malik bin Marwan mengerakkan Politik Arabisasi. 

Ilmu Aqliyah pada masa ini mulai dikenalkan. Khalifah Muawiyah memerintahkan supaya diterjemahkan karya-karya Bangsa Grek (Yunani) yang mengandung bermacam-macam ilmu. Dengan demikkian orang Islam pada masa ini mulai mengetahui ilmu kedokteran, ilmu Kalam, Seni bangun dan sebagainya. Ilmu Aqliyah pada masa Khalifah Muawiyah baru bertingkat permulaan dan pengenalan. Tingkat perkembangan adalah pada masa khalifah Abdul Malik.[8]

Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa. 



PENUTUP 


A. Kesimpulan 

1. Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh penting ditengah Quraisy pada masa Jahiliah. 

2. Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umyyah adalah monarci 

3. Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, di mana perhatian tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terjadi sejak zaman khulafaur rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa diempat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatolia, Irak, Persia, Afganistan, India dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk Soviet Rusia 

4. Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi, teknologi, maupun sosial kebudayaan. 

B. Saran 

Kami menyadari sepenuhnya dalam makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat menjadi bekal dikemudian hari apabila kami mempunyai kesempatan membuat makalah lain 



[1]Akbar Barka, http://akbarbarka.blogspot.com/2012/12/sejarah-peradaban-islam-dinasti-bani.html 

[2]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010, h. 118. 

[3]Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008, h. 103. 

[4] Philip K. Hitti, The Histori of Arab, Terjemahan dari The Histori of Arabs; from the Earliest Times to the present oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008) h.257 

[4]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2000)Hal. 48-49. 

[5]Joesoef Soe’yb, Sejarah Daulat Umayyah I, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 234. 

[6]Kitab Al-Kaamil Fit-taarikh lil Imam Ibnil Atsiir-13 jilid, wa Tarikh Ibnu Kholdun-14 Jilid, Tariikhul Umaamil wal Muluk li Abii ja’far Ibni At-thobari-10 Jilid, 

[7]Jurji Zaidan, Tarikh Adab Lughah Al-Arabiyah, jilid II, Cairo: Darul Hilal, hal. 236-259.