Makalah OJK dalam Ketatanegaraan


PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 

Dewasa ini dimana dunia dipenuhi dengan kemajuan teknologi karena globalisasi yang berpengaruh terhadap seluruh sektor dalam kehidupan. Salah satunya pada komplektisitas sistem keuangan. Kemajuan teknologi secara otomatis akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang merupakan syarat untuk terciptanya sesuatu di dunia ini.
Sistem keuangan adalah hal yang subtansial bagi suatu negara, hal ini dikarenakan sistem keuangan akan mempengaruhi stabilitas perekonomian dalam suatu negara. Di negara berkembang seperti Indonesia sektor keuangan sangat penting untuk pembangunan nasional. Uang adalah modal utama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan tujuan dari bangsa indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, sebagaimana yang kita ketahui bahwa masalah ekonomi di Indonesia sangat krusial, masalah perbankan dimana bank merupakan badan usaha yang berfungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat, baik dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kredit kepada masyarakat. Melalui fungsi perbankan ini diharapkan dapat meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak seperti masalah Century belum dapat diselesaikan sampai saat ini. Masalah money loundrying juga sangat penting dimana masalah ini mengganggu kestabilan ekonomi Indonesia dan masih banyak masalah keuangan yang belum dituntaskan sampai akar oleh pemerintah ataupun lembaga yang khusus menangani hal tersebut. Dan masih banyak kasus lain yang kesemuanya menunjukan bahwa masih banyak bank yang belum sepenuhmya menjalankan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usahanya dan lemahnya pengawasan oleh BI. 

Perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. 

Sementara itu, kecenderungan globalisasi telah pula menghilangkan batas-batas tradisional kedaulatan negara dalam sistem keuangan. Modal tidak pernah memiliki bendera nasional, dana mengalir dari satu negara ke negara lain secara cepat, bergerak melewati batas-batas negara. Secara umum globalisasi juga dapat diartikan sebagai semakin terintegrasinya pasar modal dan pasar uang yang secara populer disebut dengan konsep global village. Secara umum bank dan lembaga keuangan lainnya serta sistem keuangan di seluruh dunia terlibat dalam proses restrukturisasi secara luas. Dalam proses ini seluruh lembaga keuangan dipaksa untuk bersikap pro aktif dalam melaksanakan perubahan dan diharuskan melakukan antisipasi terhadap perkembangan-perkembangan baru dengan cara menyusun rencana sesuai dengan perkembangan baru tersebut. 


Krisis ekonomi 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. 

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan suatu model pengawasan yang berfungsi mengawasi segala macam kegiatan keuangan. Setiap model pengawasan memang memiliki keunggulan dan kelemahan masing masing. Lewellyn melihat bahwa lembaga pengawasan harus memiliki ketahanan dalam menghadapi masa krisis, memiliki tingkat efisiensi dan efektivitas tinggi yang tercermin dalam biaya dan adanya kejelasan pembagian tanggung jawab dan fungsi serta memiliki persepsi yang baik dimata publik. 

Untuk mengatasi permasalahan ini maka muncul gagasan untuk mendirikan suatu lembaga pengawasan yang mandiri. Lembaga pengawasan ini dinamai otoritas jasa keuangan atau disingkat dengan OJK. Sebelum mengenal lebih lanjut tentang OJK kita harus lebih dahulu mengerti apa yang dimaksud dengan Jasa Keuangan. Jasa keuangan secara umum adalah istilah yang digunakan untuk merujuk jasa yang disediakan oleh industry atau organisasi keuangan salah satu bentuk perusahaan yang menyediakan jasa keuangan adalah bank, asuransi, kartu kredit dan sekuritas. Sejarah singkat mengenai Jasa Keuangan, dapat dilihat kembali dari perkembangan di Amerika Serikat sejak dikeluarkannya Gramm-Leach-Bliley Act pada akhir tahun 1990 yang memungkinkan perusahaan yang beroperasi di industry keuangan AS untuk bergabung. 

Otoritas Jasa Keuangan Indonesia lahir berdasarkan Undang-undang Nomor. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) yang disahkan pada tanggal 22 Nopember 2011, sehingga jelas sekarang landasan kerja, tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dan hal-hal lain tentang lembaga baru ini diatur oleh undang –undang tersebut diatas. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, pengertian OJK sendiri adalah:“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.“ 

Secara historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. RUU ini disamping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank. 

B. Rumusan Masalah 

1. Bagaimana konseptualisasi Otoritas Jasa Keuangan dalam ketatanegaraan Indonesia? 

2. Bagaimana pengaruh pembentukan Otoritas Jasa keuangan terhadap kewenangan Bank Indonesia ? 


PEMBAHASAN 

I. Konseptualisasi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Ketatanegaraan Indonesia 

Secara historis, ide untuk membentuk lembaga khusus untuk melakukan pengawasan perbankan telah dimunculkan semenjak diundangkannya UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dengan melihat ketentuan tersebut, maka telah jelas tentang pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independen harus dibentuk. Dan bahkan pada ketentuan selanjutnya dinyatakan bahwa pembentukan lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambatnya 31 Desember 2002. Dan hal tersebutlah, yang dijadikan landasan dasar bagi pembentukkan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor jasa keuangan. 

Secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam hal pengawasan lembaga keuangan. Di satu pihak terdapat aliran yang mengatakan bahwa pengawasan industri keuangan sebaiknya dilakukan oleh beberapa institusi. Di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan industri keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa lembaga. Di Inggris misalnya industri keuangannya diawasai oleh Financial Supervisory Authority (FSA), sedangkan di Amerika Serikat industri keuangan diawasi oleh beberapa institusi. SEC misalnya mengawasi perusahaan sekuritas sedangkan industri perbankan diawasi oleh bank sentral (the Fed), FDIC dan OCC. Alasan dasar yang melatarbelakangi kedua aliran ini adalah kesesuaian dengan sistem perbankan yang dianut oleh negara tersebut. Juga, seberapa dalam konvergensi diantara lembagalembaga keuangan. Dari sudut sistem, terdapat dua sistem perbankan yang berlaku yaitu commercial banking system dan universal banking system. Commercial banking, seperti yang berlaku di negara kita dan di Amerika Serikat, melarang bank melakukan kegiatan usaha keuangan non bank seperti asuransi. Hal ini berbeda dengan universal banking, dianut oleh antara lain negara-negara Eropa dan Jepang, yang membolehkan bank melakukan kegiatan usaha keuangan non bank seperti investmen banking dan asuransi. (Zulkarnain Sitompul, vol VIII no 2, 2004, hal 1) 

Secara empiris, survey yang dilakukan oleh Central Banking Publication (1999) menunjukkan bahwa dari 123 negara yang diteliti, tiga perempatnya memberikan kewenangan pengawasan industri perbankan kepada bank sentral. Hal ini lebih menonjol di negara-negara sedang berkembang. Khusus untuk negara berkembang alasannya adalah masalah sumber daya (resources). Bank sentral dianggap memadai dalam hal sumber daya (sdm dan dana). Dari kaca mata politik, dicabutnya kewenangan pengawasan dari bank sentral sejalan dengan munculnya kecenderungan pemberian independensi kepada bank sentral. Ada kekhawatiran bahwa dengan independennya bank sentral maka apabila bank sentral juga berwenang mengawasi bank maka bank sentral akan memiliki kewenanagan yang sedemikian besar. Bank of England misalnya, pada tahun 1997 mendapatkan keindependenennya dan dua minggu kemudian kewenangan pengawasan bank diambil alih dari bank sentral tersebut. 

OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pension, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya, antara lain melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, termasuk kewenangan perizinan kepada Lembaga Jasa Keuangan. (Zaidatul amina, 2012, hal 8) 

OJK memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan itu meliputi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. 

Dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, OJK mempunyai wewenang: 

Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi : 

· Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank 

· Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa 

· Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank 

· Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank. 

Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi 

· Menetapkan peraturan dan keputusan OJK; 

· Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; 

· Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK 

· Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; 

· Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; 

· Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan 

· Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 

Terkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi : 

· Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; 

· Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; 

· Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; 

· Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu; 

· Melakukan penunjukan pengelola statuter; 

· Menetapkan penggunaan pengelola statuter; 

· Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan 

· Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain. 

A. Dasar Hukum 

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia telah diatur dalam sebuah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang diresmikan pada tanggal 22 November 2011. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa definisi dari Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK ini. 

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia ditetapkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan akan dibentuk paling lambat tahun 2010. Namun Sebelum diamandemenkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia bunyi ketentuannya adalah “Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi Otoritas Jasa Keuangan) paling lambat sudah harus dibentuk pada akhir Desember 2002” 


Pasal 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia merupakan respon dari krisis yang terjadi di Asia pada tahun 1997-1998 yang sangat berpengaruh terhadap Indonesia, khususnya pada sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997- 1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank-bank yang mengalami koleps sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem keuangan yang lebih tangguh. Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini akan mengambil alih kewenangan pengawasan perbankan yang selama ini dipegang oleh Bank Indonesia (BI). 

Dalam penyusunan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan terdapat masalah yang harus diindentifikasi yang selanjutnya dikaji dan dianalisa kebaikan dan kelemahannya, serta menelaah praktek-praktek dalam membentuk suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan prinsip-prinsip untuk melakukan reformasi dan organisasi lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, yaitu independensi, terintegrasi, dan menghindari benturan kepentingan. 

B. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Ketatanegaraan Indonesia 

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness). 

Pasal 6 undang -undang nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan tugas pengaturan dan pengawasan OJK. Pengaturan dan pengawasan Ojk berlaku terhadap : 

a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; 

b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan 

c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. 

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya OJK merupakan lembaga yang independen seperti yang telah di jelaskan pada pasal 2 ayat 2 undang-undang nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal tersebut tersirat arti bahwa OJK merupakan lembaga non-pemerintahan atau independen. Berarti OJK dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah. 

OJK dapat melakukan kerja sama dengan otoritas pengawas Lembaga Jasa Keuangan di negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional lainnya, antara lain pada bidang dan/atau kegiatan sebagai berikut: 

a. pengembangan kapasitas kelembagaan, antara lain pelatihan sumber daya manusia di bidang pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa Keuangan; 

b. pertukaran informasi; dan 

c. kerja sama dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan serta pencegahan kejahatan di sektor keuangan. 

Untuk melaksankan tugas dan wewenang, OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner yang terdiri dari 9 orang anggota yang terdiri atas : 

a. seorang Ketua merangkap anggota; 

b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota; 

c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota; 

d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota; 

e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota; 

f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota; 

g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen; 

h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan 

i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan. 

Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain: 

a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank; 

b. sistem informasi perbankan yang terpadu; 

c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri; 

d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya; 

e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan 

f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. 

Terkait dengan Independensi antara Bank Indonesia dan OJK, secara hakikat independensi antara Bank Indonesia dengan OJK adalah sama sama. Kedua lembaga ini diamanatkan dalam undang-undang sebagai lembaga independen yang bebas dari intervensi dalam melaksanakan tugas dan wewenag dari pihak lain atau pemerintah. Independensi Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 

Dalam penjelasan undang -undang nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menjelaskan bahwa secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. 

Singkatnya dalam ketatanegaraan Indonesia OJK mempunyai kedudukan sekunder dengan adanya dindepedensi institusional atau disebut juga sebagai political atau goal indepedence karena dalam masalah kedudukan ini berarti status OJK sebagai lembaga secara mendasar terpisah dari eksekutif atau pemerintah, bebas dari pengaruh legislatif atau parlemen, bebas untuk merumuskan tujuan atau saran dari kebijakannya tanpa pengaruh dari lembaga politik maupun pemerintah. (Sulistyandri, mimbar hukum volume 24 no. 2 , juni 2012, hal 233) 

C. Cara Pengangkatan Pejabat Lembaga Otoritas Jasa Keuangan 

Struktur organisasi OJK tertinggi diduduki tujuh anggota dewan komisioner ditambah dua anggota ex-officio dari Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) yang merupakan pengambil kebijakan. Tujuh anggota dewan komisioner kemudian akan masuk ke struktur organisasi, yakni Ketua, Wakil Ketua, Ketua Dewan Audit, Anggota Bidang Perlindungan Konsumen, serta Kepala Eksekutif (KE) Perbankan, KE Pasar Modal dan KE Intitusi Keuangan Non Bank (IKNB). Masing-masing unit kerja tersebut akan dibantu 12 deputi komisoner. Selain itu, tim telah menyiapkan rencana kerja dan anggaran 2013. 

1. Struktur organisasi OJK 

Struktur organisasi OJK terdiri atas: 

1. Dewan Komisioner OJK; dan 

2. Pelaksana kegiatan operasional. 

Struktur Dewan Komisioner terdiri atas: 

1. Ketua merangkap anggota; 

2. Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota; 

3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota; 

4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota; 

5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota; 

6. Ketua Dewan Audit merangkap anggota; 

7. Anggota yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen; 

8. Anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan 

9. Anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan. 

2. Mekanisme Pangangkatan Dewan Komisaris 

Dalam pengangkatan dan penetapan Anggota Dewan Komisioner terdapat kerjasama antara Presiden berdasarkan usulan Gubernur Bank Indonesia apabila dewan komisaris tersebut seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan anggota Dewan Komisioner diangkat dan ditetapkan Presiden berdasarkan usulan Menteri Keuangan apabila dewan komisaris adalah seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan 

D. Pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan 

Otoritas jasa keuangan (OJK) yang pada dasarnya merupakan lembaga resmi perintahan walaupun berdiri secara independen dalam pemerolehan dana untuk kelangsungan lembaga ini mengambil langsung dari APBN dan pemungutan dari pihak yang melakukan kegiatan pada sektor keuangan. 


E. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Negara Lain 

Dalam melaksanakan tugasnya suatu lembaga secara otomatis harus bekerja sama dengan lembaga negara lain. Hal tersebut berlaku juga pada Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan tugas, fung dan wewenangnya yang dimana lembaga ini harus bekerjasama dengan lembaga lain diantaranya : 

1. Dengan Bank Indonesia 

Pasal 37 ayat (2) UU tentang Otoritas Jasa Keuangan menentukan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dapat berkoordinasi dan bekerjasama dalam pengawasan bersama atas kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan. Perlu dikemukakan bahwa kewenangan pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan merupakan bagian dari fungsi Bank Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 UU tentang Bank Indonesia.( Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010) 

Dalam bekerja sama pasal 40 dan 41 disebutkan bahwa BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK, tetapi dalam pemeriksaan tersebut BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI tersebut disampaikan kepada OJK, kemudian OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Apabila bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatannya semakin memburuk,OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia. (Zaidatul amina, 2012, hal 9) 


2. Dengan BPK 

Setelah transformasi BPJS, BPK RI akan mengoptimalkan perannya dalam melaksanakan pemeriksaan yang relevan dengan kebutuhan. Selain itu, BPK RI juga akan melakukan komunikasi yang konstruktif dengan pengawas internal BPJS (Dewan Pengawas dan SPI), pengawas eksternal (Dewan Jaminan Sosial Nasional dan Otoritas Jasa Keuangan), serta instansi terkait lainnya dalam hal ini membangun tata kelola keuangan yang baik, tentunya dengan memperhatikan posisi strategis BPK RI. (Siaran Pers Badan Pemeriksa Keuangan Diskusi Panel BPK RI, DPR RI, Bapepam-LK, dan PT Jamsostek Mengidentifikasi Kesiapan Indonesia Menuju Era BPJS Tahun 2014) 

Disini akuntabilitas perencanaan dan penggunaan anggaran wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari DPR. Dalam hal akuntabilitas pelaksanaan tugas, OJK wajib menyusun laporan yang terdiri atas laporan kegiatan secara berkala kepada Presiden dan DPR. Selain laporan kegiatan, OJK juga diwajibkan menyusun laporan keuangan tahunan yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. (Keterangan Pers, Pengundangan Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, hal.3 ) 

II. Pengaruh pembentukan Otoritas Jasa Keuangan terhadap kewenangan Bank Indonesia 

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI, kemudian dimuat Pasal 34 ayat (1) yang menyebutkan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang . 

Selama ini pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia sebagai pemegang lembaga keuangan teringgi di Indonesia tentu memiliki kewenangan yang begitu besar. BI membuat peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan atas bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (Andika hendra Mustaqin, vol VIII, No. 1, maret 2010, hal 70) 

Namun berdasarkan kenyataan, pemerintah dan Bank Indonesia masih belum menemukan titik temu untuk solusi pelaksanaan sistem pengawasan perbankan. Oleh karenanya sesuai amanat Undang-undang yakni menciptakan pondasi ekonomi yang kuat sehingga perekonomian Indonesia tidak sampai terserang krisis lagi seperti tahun 1997. 

Berkaitan dengan hal tersebut maka fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap bank yang dimiliki oleh bank Indonesia berpindah alih kepada lembaga keuangan independen yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan diamanatkan pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 atas perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang BI. Hal ini akan derealisasikan setidaknya pada 31 Desember 2013 atau awal tahun 2014. 

Dengan lahirnya OJK maka peran serta BI sebagai pengawas perbankan akan hilang dan BI akan fokus sebagai regulator pada bidang moneter. Implikasinya adalah bahwa fungsi penjaga stabilitas keuangan diserahkan kepada OJK, sementara BI hanya bertugas untuk menjaga stabilitas moneter. Permasalahan yang muncul kemudian adalah bahwa stabilitas moneter seringkali tidak bisa dipisahkan terhadap stabilitas sistem keuangan. Krisis ekonomi akibat subprime-mortgage yang kemudian memaksa pemerintah Amerika Serikat mem-bailout Bear Stern, AIG, maupun pemerintah Inggris mem-bailout Northern Rock, Lloyd TSB, Royal Bank of Scotland, dan pemerintah Jerman mem-bailout Hyppo Real Estate membuktikan bahwa instabilitas sistem keuangan berdampak terhadap instabilitas moneter. Di lain pihak, krisis moneter yang dialami Inggris di tahun 1992, maupun krisis moneter di Asia di tahun 1997/1998 menunjukkan instabilitas moneter berdampak kepada instabilitas sistem keuangan. 

Namun ini menimbulkan banyak perspektif publik dimana apakah setelah lahirnya OJK memberikan jaminan bahwa pengawasan bank leboh efisien dibandingkan sebelumnya. (Bismar Nasution, volume 8 no. 2, 2010, hal 7) 

Teori pengawasan bank mengajarkan bahwa sistem pengawasan bank yang ideal dari sudut kepentingan semata-mata untuk mewujudkan dan menjaga sistem perbankan yang sehat, akan tercapai apabila otorita pengawas bank dapat dengan mudah melakukan pengawasannya secara efektif serta semua bank yang diawasi dalam kondisi terkendali sepenuhnya. (Bismar Nasution, volume 8 no. 2, 2010, hal 8) 


PENUTUP 

A. Kesimpulan 

1. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. 

a. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia telah diatur dalam sebuah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang diresmikan pada tanggal 22 November 2011. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa definisi dari Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK ini. 

b. Singkatnya dalam ketatanegaraan Indonesia OJK mempunyai kedudukan sekunder dengan adanya dindepedensi institusional atau disebut juga sebagai political atau goal indepedence karena dalam masalah kedudukan ini berarti status OJK sebagai lembaga secara mendasar terpisah dari eksekutif atau pemerintah, bebas dari pengaruh legislatif atau parlemen, bebas untuk merumuskan tujuan atau saran dari kebijakannya tanpa pengaruh dari lembaga politik maupun pemerintah. 

c. Dalam pengangkatan dan penetapan Anggota Dewan Komisioner terdapat kerjasama antara Presiden berdasarkan usulan Gubernur Bank Indonesia apabila dewan komisaris tersebut seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan anggota Dewan Komisioner diangkat dan ditetapkan Presiden berdasarkan usulan Menteri Keuangan apabila dewan komisaris adalah seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan. 

d. Otoritas jasa keuangan (OJK) yang pada dasarnya merupakan lembaga resmi perintahan walaupun berdiri secara independen dalam pemerolehan dana untuk kelangsungan lembaga ini mengambil langsung dari APBN dan pemungutan dari pihak yang melakukan kegiatan pada sektor keuangan 

e. Dalam melaksanakan tugasnya suatu lembaga secara otomatis harus bekerja sama dengan lembaga negara lain. Hal tersebut berlaku juga pada Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan tugas, fung dan wewenangnya yang dimana lembaga ini harus bekerjasama dengan lembaga lain yaitu BPK dab Bank Indonesia 

2. Dengan lahirnya OJK maka peran serta BI sebagai pengawas perbankan akan hilang dan BI akan fokus sebagai regulator pada bidang moneter. Implikasinya adalah bahwa fungsi penjaga stabilitas keuangan diserahkan kepada OJK, sementara BI hanya bertugas untuk menjaga stabilitas moneter. Permasalahan yang muncul kemudian adalah bahwa stabilitas moneter seringkali tidak bisa dipisahkan terhadap stabilitas sistem keuangan. Krisis ekonomi akibat subprime-mortgage yang kemudian memaksa pemerintah Amerika Serikat mem-bailout Bear Stern, AIG, maupun pemerintah Inggris mem-bailout Northern Rock, Lloyd TSB, Royal Bank of Scotland, dan pemerintah Jerman mem-bailout Hyppo Real Estate membuktikan bahwa instabilitas sistem keuangan berdampak terhadap instabilitas moneter. Di lain pihak, krisis moneter yang dialami Inggris di tahun 1992, maupun krisis moneter di Asia di tahun 1997/1998 menunjukkan instabilitas moneter berdampak kepada instabilitas sistem keuangan. 


B. Saran 

1. Dalam hal pengawasan yang dilakukan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap lembaga keuangan harus dilakukan dengan berdasarkan dengan prinsip-prinsip independensi, transparansi dan akuntabel. Prinsip-prinsip tersebut hanya dijadikan sebagai tulisan belaka yang tidak dijalankan. Karena hingga saat ini kasus-kasus dalam fungi pengawasan masih banyak terjadi dan melibatkan pihak pemerintah dalam menentukan kebijakan. Agar tidak terjadi benturan antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan pengawasan terhadap bank, maka perlulah adanya kejelasan mengenai pembagian otoritas dan koordinasi antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam pengawasan perbankan.Untuk itu, diperlukan adanya suatu revisi dari Undang-undang Bank Indonesia mengenai fungsi pengawasannya yang telah diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan. 

2. Dalam rangka mewujudkan Otoritas Jasa Keuangan yang efektif dan tidak dijadikan lahan politik untuk kepentingan pribadi atau kelompok, maka Otoritas Jasa Keuangan harus bisa mengakomodir fungsi pengawasan di dunia bank dan non bank. 

3. OJK harus selalu menjaga independensinya agar setiap kebijakan yang diambil sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan tidak ada unsur apapun didalam kebijakan tersebut. 


DAFTAR PUSTAKA 

BUKU 

Albab setiawan, Otoritas Jasa Keuangan, jakarta: jas and partner lawyer office, 2012 

Andrean sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar grafika, 2007 

Husein, Yunus , dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Perubahan Undang- 

Undang Perbankan, (UU No. 7 Tahun 1992 Jo. UU No. 10 Tahun 1998), Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departmen Hukum dan Ham, 2007 

Philipus m hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, yogyakarta: Gajah mada University press, 2002 


ARTIKEL dan MAKALAH 

Harry Azhar Azis, OJK Bakal Awasi Koperasi, 2010 

Hary Koot, Analisis Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, 2012 

Keterangan Pers, Pengundangan Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, 2010 

Rama Nanda, Otoritas Jasa Keuangan, 2012 

Siaran Pers Badan Pemeriksa Keuangan Diskusi Panel BPK RI, DPR RI, Bapepam-LK, dan PT Jamsostek, Mengidentifikasi Kesiapan Indonesia Menuju Era BPJS, 2014 

Zaidatul amina, Kajian Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia: Melihat Dari Pengalaman Di Negara Lain, Universitas Negeri Surabaya, 2012 


JURNAL NASIONAL 

Andika hendra Mustaqin, Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem Ekonomi Nasional, vol VIII, No. 1, maret 2010 

Bambang Suprayitno, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Nasabah Dan Bank Serta Konsepsi Ke Depannya, Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 5 Nomor 2, Desember 2008 

Bismar Nasution, Beberapa Catatan Terhadap Ruu Otoritas Jasa Keuangan, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010 

Bismar Nasution, Kajian Terhadap RUU OJK, buletin hukum perbankan dan perbanksentralanvolume 8 no. 2, 2010 

Sulistyandri, Lembaga Dan Fungsi Pengawasan Perbankan Di Indonesia, mimbar hukum volume 24 no. 2 , juni 2012 

Zulkarnain Sitompul, Kemungkinan Penerapan Universal Banking System di Indonesia: Kajian dari Perspektif Bank Syariah Jurnal Hukum Bisnis, Volume 20, Agustus-September 2002 


JURNAL INTERNASIONAL 

Elizabeth F. Brown, E Pluribus Unum{Out Of Many, One: Why The United States Needs A Single Financial Services Agency, volume 1 nomor 5, 2005 

Richard Dale and Simon Wofe, The UK Financial Service Authority : Unified Regulation In New Marker Environment, journal banking regulation volume 4 no 3, 2003 

Ros Jones, Measuring The Benefits Of Knowledge Management At The Financial Services Authority: A Case Study, Journal of Information Science December 2003 vol. 29 no. 6 


ERUNDANG-UNDANGAN 

Undang Undang Dasar 1945 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 

UU No.3 Tahun 2004 tentang BI