Makalah Anak Berbakat dan Indigo


ANAK BERBAKAT DAN INDIGO 

Pendahuluan 

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu proses yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Proses tersebut dilakukan melalui pendidikan informal, pendidikan nonformal, dan pendidikan formal. Melalui pendidikan, martabat manusia secara holistis dapat ditingkatkan sehingga memungkinkan potensi diri (afektif, kognitif, dan psikomotor) berkembang secara optimal. Kualitas sumber daya manusia perlu ditingkatkan karena sumber daya manusia yang berkualitas merupakan tumpuan suatu negara.
Keadaan peserta didik tidak boleh diabaikan dalam pelaksanaan pendidikan. Peserta didik merupakan pribadi yang unik. Setiap peserta didik memiliki potensi yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain, karena setiap orang dilahirkan dengan berbagai bakat yang berbeda-beda. Bakat yang dimiliki peserta didik haruslah diarahkan agar berkembang.

Peserta didik bukan hanya meliputi anak normal, melainkan pula anak berkebutuhan khusus. Menurut Suparno (2008:1-1) “Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya”. Perbedaan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak normal dapat ditinjau dari perbedaan interindividual dan intraindividual. Salah satu jenis anak berkebutuhan khusus adalah anak berbakat.

Di Indonesia, kehadiran anak berbakat sudah dikenal sejak dulu dan telah mendapat perhatian. Berdasar atas Prakiraan Ward (dalam Semiawan, 1997:24) “Di Indonesia terdapat 1,57 % anak yang berbakat tinggi (highly gifted), dan 10% yang berbakat sedang (moderately gifted)”. Kedua kelompok anak ini berbakat akademik (akademic talented) atau keberbakatan intelektual. Perhatian serius dan formal tersurat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 4 yang berbunyi “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”. Undang-Undang tersebut mengandung pernyataan bahwa anak berbakat perlu dan berhak mendapatkan pengalaman belajar sesuai dengan kondisi, kemampuan dan minat serta kecepatannya, untuk dapat berkembang seoptimal mungkin.

Berkaitan dengan keberbakatan, terdapat pula anak yang memiliki bakat unik (identik dengan mata ketiga) yang dikenal sebagai anak Indigo. Pada beberapa literatur, anak berbakat dibedakan dengan anak indigo karena anak indigo diidentikkan dengan supranatural (anak indigo memiliki IQ minimal 120). Hingga kini, Fenomena indigo masih bersifat kontroversial termasuk di Indonesia karena sulit dijelaskan secara ilmiah dan fenomena ini dapat terjadi di mana saja. Seperti yang diungkapkan Nordha Wenangsari, “Di Indonesia banyak masyarakat belum mengetahui mengenai apa itu anak indigo dikarenakan kurangnya informasi mengenai anak indigo (Moelyono, 2011:1 )”.

Madyawati (2011:2) menjelaskan,

Berbagai penelitian di dunia menemukan bahwa jumlah anak indigo dari tahun ke tahun semakin meningkat. Lebih dari 85% anak indigo lahir tahun 1992 atau sesudahnya, 90% lahir tahun 1994, dan 95% atau lebih lahir saat ini (beberapa orang mengatakan 99%) adalah anak-anak indigo. Namun tidak ada data yang valid yang mengetahui jumlah anak indigo yang lahir di dunia karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang anak indigo.

Baca : Makalah Pandangan Politik Islam

Anak berbakat dan indigo adalah anak dengan kemampuan dan kecerdasan luar biasa. Meski mereka memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa bukan berarti tidak ada masalah dalam belajar maupun kehidupan sosial. Justru karena potensinya yang luar biasa, jika tidak diberi kesempatan berkembang secara optimal akan menjadi problema belajar tersendiri bagi anak bersangkutan.

Anak-anak berbakat termasuk pula anak indigo merupakan aset nasional yang sangat penting karena mereka memiliki interes intelektual dan perspektif masa depan yang jauh lebih baik dari anak kebanyakan, baik secara genetis maupun dalam kecepatan tindakan. Dengan kelebihan ini, diharapkan tenaga dan pikiran mereka dapat membawa berbagai pembaruan dalam bidang keilmuan, maupun perubahan ke arah perbaikan kehidupan masyarakat, seperti apa yang telah dilakukan Edison (sang penemu listrik) yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

Agar anak berbakat yang mempunyai potensi unggul tersebut dapat mengembangkan potensinya dibutuhkan program dan layanan pendidikan secara khusus. Mereka lahir dengan membawa potensi luar biasa yang berarti telah membawa kebermaknaan hidup. Oleh karena itu, tugas pendidikan adalah mengembangkan kebermaknaan tersebut secara optimal sehingga mereka dapat berkiprah dalam memajukan bangsa dan negara. Bercermin dari perlunya perhatian khusus terhadap anak berbakat, maka dibuatlah makalah dengan judul “ Anak Berbakat dan Indigo”.


1.2 Rumusan Masalah

Berdasar pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang dijadikan fokus, yaitu

1) Apakah yang dimaksud dengan anak berbakat dan indigo?

2) Bagaimanakah karakteristik anak berbakat dan indigo?

3) Bagaimanakah klasifikasi anak berbakat dan indigo?

4) Apakah masalah yang dihadapi anak berbakat dan indigo?

5) Bagaimanakah Identifikasi dan layanan pendidikan anak berbakat dan indigo?


1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan makalah ini ditulis sebagai berikut.

1) Mengetahui yang dimaksud dengan anak berbakat dan indigo;

2) Mengetahui karakteristik anak berbakat dan indigo;

3) Mengetahui klasifikasi anak berbakat dan indigo;

4) Mengetahui masalah yang dihadapi anak berbakat dan indigo;

5) Mengetahui identifikasi dan layanan pendidikan anak berbakat dan indigo.


1.4 Manfaat penulisan

Makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut.

1) Bagi Penulis, dapat menambah wawasan mengenai anak berbakat sehingga ketika menjadi guru ataupun orang tua penulis dapat mengambil tindakan yang bijak terhadap anak berbakat.

2) Bagi Pembaca, dapat menambah wawasan pembaca mengenai anak berbakat dan layanan terhadap anak berbakat.


Pembahasan 


2.1 Pengertian Bakat dan Keberbakatan, Anak Berbakat, dan Indigo

2.1.1 Pengertian Bakat dan Keberbakatan

Sejak lahir, manusia dikaruniai berbagai macam kemampuan salah satunya adalah bakat. Bakat (Semiawan, 1997:10) adalah “Kemampuan yang merupakan sesuatu yang ‘inherent’ dalam diri seseorang, dibawa sejak lahir dan terkait dengan struktur otak”. Manusia sejak lahir tidak ada yang identik satu sama lain. Manusia berbeda satu sama lain dalam berbagai hal, antara lain dalam intelegensi, bakat, minat, kepribadian, keadaan jasmani, dan perilaku sosial. Setiap orang memiliki bakat-bakat tertentu, masing-masing dalam bidang derajat yang berbeda-beda.

Menurut Munandar (1995:17), “Bakat adalah kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar terwujud”. Dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa bakat merupakan kemampuan bawaan yang terkait dengan struktur otak yang masih perlu dikembangkan dan dilatihkan. Bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi diperlukan latihan, pengetahuan, pengalaman, dan dorongan atau motivasi agar bakat itu dapat terwujud.

Keberbakatan hingga kini masih menjadi wacana yang sangat menarik. Pengertian keberbakatan dalam pengembangannya telah mengalami berbagai perubahan, dan kini pengertian keberbakatan selain mencakup kemampuan intelektual tinggi, juga menunjuk kepada kemampuan kreatif. Bahkan menurut Semiawan (1994), kreativitas adalah ekspresi tertinggi keberbakatan.

Menurut Wahab (2011), Keberbakatan dapat diartikan sebagai kemampuan unggul yang memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan dengan tingkat prestasi dan kreativitas yang sangat tinggi Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa, (1) Keberbakatan merupakan kualitas yang dibawa sejak lahir (dengan kata lain keberbakatan bersifat alamiah), dan (2) bahwa lingkungan keberbakatan adalah arena di mana anak berbakat memainkan peran di dalamnya. Tingkat prestasi dan kreativitas yang tinggi dihasilkan dari interaksi terus menerus dan fungsional antara kemampuan dan karakteristik yang dibawa seseorang dari lahir dan diperoleh selama hidupnya.

Semiawan (1997:40) menyatakan,

Keberbakatan dipengaruhi oleh berbagai unsur kebudayaan. Dengan demikian ada dua petunjuk kunci dalam mengamati dan mengerti keberbakatan tersebut, yaitu (1) Keberbakatan itu adalah ciri-ciri universal yang khusus dan luar biasa yang dibawa sejak lahir maupun yang merupakan hasil interaksi dari pengaruh lingkungannya, dan (2) Keberbakatan itu ikut ditentukan oleh kebutuhan maupun kecenderungan kebudayaan di mana seseorang yang berbakat itu hidup.

Baca : Makalah Perdagangan Internasional

2.1.2 Anak Berbakat

Anak berbakat adalah anak yang diyakini memiliki kemampuan di atas anak pada umumnya. Santrock (2010:251) menyatakan, “Anak berbakat (gifted) punya kecerdasan di atas rata-rata ( biasanya punya IQ di atas 130) dan/atau punya bakat unggul di beberapa bidang seperti seni, musik, atau matematika”.

Munandar (1995:41) menyatakan,

Dalam seminar/lokakarya Program Alternatives for the Gifted and Talented yang diselenggarakan di Jakarta (1982) bahwa yang disebut anak berbakat adalah mereka yang didefinisikan oleh orang-orang profesional mampu mencapai prestasi yang tinggi karena memiliki kemampuan-kemampuan luar biasa. Mereka menonjol secara konsisten dalam salah satu atau beberapa bidang, meliputi bidang intelektual umum, bidang kreativitas, bidang seni/kinetik, dan bidang psikososial/ kepemimpinan. Mereka memerlukan program pendidikan yang berdiferensiasi dan/atau pelayanan di luar jangkauan program sekolah biasa, agar dapat merealisasikan urunan mereka terhadap masyarakat maupun terhadap diri sendiri.

Rumusan di atas mengandung implikasi, bahwa (a) bakat merupakan potensi yang memungkinkan seorang berpartisipasi tinggi, (b) terdapat perbedaan antara bakat sebagai potensi yang belum terwujud dengan bakat yang sudah terwujud dan nyata dalam prestasi yang unggul, (c) terdapat keragaman dalam bakat, (d) ada kecenderungan bahwa bakat hanya akan muncul dalam salah satu bidang kemampuan, dan (e) perlu layanan pendidikan khusus di luar jangkauan pendidikan biasa.

Kecerdasan berhubungan dengan perkembangan kemampuan intelektual, sedangkan kemampuan luar biasa tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual. Jenis-jenis kemampuan dan kecerdasan luar biasa yang dimaksud dalam batasan ini meliputi: (a) kemampuan intelektual umum dan akademik khusus, (b) berpikir kreatif-produktif, (c) psikososial/kepemimpinan, (d) seni/kinestetik, dan (e) psikomotor.

Berdasar dari uraian di atas, maka anak berbakat adalah anak yang oleh orang-orang profesional diidentifikasi memiliki IQ di atas rata-rata, kreativitas di atas rata-rata, dan mampu mengaitkan diri terhadap tugas dengan cukup baik sehingga mampu mencapai prestasi tinggi sehingga membutuhkan pendidikan khusus.


2.1.3 Anak Indigo

Terdapat banyak istilah untuk menyebut anak indigo. Anak indigo disebut “Children of the sun” atau “Millennium children” oleh para ahli dari Amerika dan di Rusia di sebut sebagai bocah biru. “Istilah ‘indigo’ berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila (kombinasi biru ungu, yang diidentifikasi melalui cakra tubuh yang memiliki spektrum warna pelangi, dari merah sampai ungu (Madyawati, 2011:1)”.

Madyawati (2011:2) menyatakan,

Jaman indigo children berasal dari sebuah penerbitan buku tahun 1982, “Understanding Your Life Through Color,” Nancy Ann Tape, seorang psikolog yang mengklaim memiliki kemampuan melihat “aura” orang-orang. Dia menulis akhir 1970-an dan mulai memperhatikan bahwa banyak anak-anak yang lahir dengan “indigo auras”. Sekarang dia memperkirakan 60% dari orang-orang umur 14- 25 dan 97% anak-anak di bawah 10 tahun adalah indigo.

Carrol dan Tober (dalam Apsari. 2009:11) menjelaskan,

Anak indigo adalah anak yang menunjukkan seperangkat atribut psikologis baru dan luar biasa, serta menunjukkan sebuah pola perilaku yang pada umumnya tidak didokumentasikan sebelumnya. Pola ini memiliki faktor-faktor unik yang umum, yang mengisyaratkan agar orang-orang yang berinteraksi dengan mereka (para orangtua khususnya) mengubah perlakuan dan pengasuhan terhadap mereka guna mencapai keseimbangan. Apabila mengabaikan pola baru ini, potensial mencapai ketidakseimbangan dan frustrasi.

Madyawati (2011:23) menyatakan,

Orang-orang indigo adalah generasi supranaturalis yang mampu memadukan teori-teori sains dan teknologi informatika dengan kemampuan supranatural mereka. Teori-teori fisika seperti mekanika kuantum, gelombang elektromagnetik (cahaya dan listrik), medan magnet, dan teori relativitas dipadu dengan teori biokimia seperti genetika, biologi molekuler, sistem hormonal tubuh dan diolah dengan kemampuan supranatural mereka seperti kekuatan pikiran, perasaan dan kehendak.

Apsari (2009) menyebutkan, berkaitan dengan kecerdasan, maka IQ anak indigo harus 120-an ke atas. Anak indigo dapat dikatakan anak berbakat, namun anak berbakat belum tentu anak indigo. Perbedaan ini diyakini melambangkan evolusi manusia karena anak indigo disertai dengan kemampuan supranatural.

Berdasar pendapat di atas, dapat dipahami bahwa anak indigo merupakan anak berbakat yang menunjukkan seperangkat atribut psikologis baru dan luar biasa. Anak indigo memiliki spektrum warna cakra nila (biru dan ungu), dan kemampuan memadukan teori-teori sains dan teknologi informatika dengan kemampuan supranatural.


2.2 Karakteristik Anak Berbakat dan Indigo

2.2.1 Karakteristik Anak Berbakat

Mengenali anak berbakat dapat diamati dari berbagai segi maupun aspek-aspek tertentu seperti potensi, cara menghadapi masalah dan kemampuan atau prestasi yang dapat dicapai. Ellen Winner (Santrock, 2010:252) seorang ahli di bidang kreativitas dan anak berbakat, mendeskripsikan tiga kriteria yang menjadi ciri anak berbakat, yaitu

1) Dewasa lebih dini (precocity). Anak berbakat adalah anak yang dewasa sebelum waktunya apabila diberi kesempatan untuk menggunakan bakat atau talenta mereka. Mereka mulai menguasai suatu bidang lebih awal ketimbang teman-temannya yang tidak berbakat. Dalam banyak kasus, anak berbakat dewasa lebih dini karena mereka dilahirkan dengan membawa kemampuan di domain tertentu.

2) Belajar menuruti kemauan mereka sendiri. Anak berbakat belajar secara berbeda dengan anak lain yang tidak berbakat. Mereka tidak membutuhkan banyak dukungan atau scaffolding dari orang dewasa. Sering kali mereka tak mau menerima instruksi yang jelas. Mereka juga kerap membuat penemuan dan pemecahan masalah sendiri dengan cara yang unik di bidang yang memang menjadi bakat mereka. Namun, kemampuan mereka di bidang lain boleh menjadi normal atau dapat juga di atas normal.

3) Semangat untuk menguasai. Anak berbakat tertarik untuk memahami bidang yang menjadi bakat mereka. Mereka memperlihatkan minat besar, obsesif, dan kemampuan fokus yang kuat. Mereka tidak perlu didorong oleh orang tuanya. Mereka punya motivasi internal yang kuat.

Selain ketiga karakteristik anak berbakat di atas, area keempat di mana mereka unggul adalah keahlian dalam memproses informasi. Sternberg (Santrock, 2010:252) menyatakan, “Para peneliti telah menemukan bahwa anak berbakat belajar lebih cepat, menggunakan penalaran dengan lebih baik, menggunakan strategi yang lebih baik, dan memantau pemahaman mereka dengan lebih baik ketimbang anak yang tidak berbakat “.

Semiawan (1997:13) menyatakan,

Karakteristik anak berbakat secara biologis yaitu: (1) produksi sel neuroglial, yaitu sel khusus yang mengelilingi sel neuron yang merupakan unit dasar otak, jauh lebih tinggi jumlahnya dari produksi sel otak manusia lain. Hal ini menambah aktivitas antara sel neuron (synaptic activity) yang memungkinkan akselerasi proses berpikir; (2) secara biokimia neuron-neuron itu menjadi lebih kaya dengan memungkinkan berkembangnya pola pikir kompleks. Juga banyak digunakan berkembangnya aktivitas prefrontal cortex otak, sehingga terjadi perencanaan masa depan, berpikir berdasarkan pemahaman dan pengalaman intuitif.

Suhamini (2007) meninjau karakter anak berbakat berdasar teori Piaget. Anak usia 1 tahun umumnya masih dalam taraf perkembangan sensori motorik, namun anak berbakat perkembangan kognitif kurang lebih 2 tahun lebih cepat dari anak normal. Anak sudah mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria yang benar, dapat menyusun benda-benda sesuai dengan urutannya.

Renzuli dan Hartman (dalam Yusuf, 2003) melihat keberbakatan dari segi karakteristik tingkah laku yang meninjol pada diri yang bersangkutan dibandingkan dengan kelompok sebayanya, mereka mengembangkan skala penilaian karakteristik tingkah laku anak berdasarkan 4 kategori, yaitu karakteristik belajar, karakteristik motivasi, karakteristik kreativitas, dan karakteristik kepemimpinan. Masing-masing kategori memiliki ciri tingkah laku yang lebih menonjol dibandingkan dengan anak-anak yang tidak berbakat.

1) Menonjol dalam belajar, misalnya menguasai jumlah kosakata yang luar biasa, memiliki pengetahuan yang luas, cepat memahami hubungan sebab-akibat, mudah menangkap pelajaran, banyak membaca sendiri dan sebagainya;

2) Menonjol dalam motivasi, antara lain terlihat serius dalam menghadapi suatu topik tertentu, mudah bosan dengan tugas-tugas rutin, tekun, ulet, tahan lama dalam menghadapi tugas, selalu berusaha mencapai prestasi tinggi;

3) Menonjol dalam kepemimpinan, yaitu mudah bekerja sama dengan orang lain, rasa tanggung jawab yang besar, dapat mempengaruhi teman-temannya, mudah menyesuaikan diri sehingga dipilih untuk memimpin kegiatan;

4) Menonjol dalam kreativitas, yaitu banyak mengemukakan gagasan, mudah menyesuaikan gagasan dengan keadaan yang ada, serta sering memunyai gagasan yang baru dan orisinal.

Terlepas dari keunggulan-keunggulan yang dimiliki anak berbakat, anak berbakat juga memiliki karakteristik negatif. Menurut Munandar (1999) karakter negatif anak berbakat di antaranya adalah bersifat tidak kooperatif, menuntut, egosentris, kurang sopan, acuh tak acuh terhadap peraturan, keras kepala, emosional, dan menarik diri. Selain karakter negatif di atas, anak berbakat sering mendominasi diskusi, tidak sabar untuk segera maju ke tingkat berikutnya, suka ribut, suka melawan aturan, bosan dengan tugas-tugas rutin dan frustrasi yang disebabkan oleh tidak jalannya aktivitas sehari-hari.

Berdasar dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa anak berbakat memiliki karakteristik menonjol pada bidang-bidang tertentu berupa karakteristik positif maupun negatif yang membedakannya dari anak normal maupun anak berkebutuhan khusus lainnya. Untuk menjadi individu berbakat tidak harus memiliki semua ciri-ciri tersebut. Setiap anak berbakat memiliki kekuatan dan kelemahan, yang dipengaruhi oleh lingkungannya yang dapat merangsang dan mengembangkan potensi tersebut. jika kecenderungan-kecenderungan yang ada berkembang dalam lingkungan yang baik, maka akan menjadi ciri-ciri positif sedangkan jika berkembang dalam yang tidak menguntungkan, maka akan berkembang menjadi ciri-ciri negatif.

Baca : Pengaruh Ekspor Impor Bagi Perekonomian Indonesia

2.2.2 Karakteristik Anak Indigo

Anak indigo memiliki kecerdasan di atas rata-rata anak pada umumnya sehingga dapat pula disebut anak berbakat. Namun, anak indigo memiliki kemampuan yang menonjol pada indra keenam sehingga identik dengan anak supranatural. Anak indigo sering dianggap aneh, suka berbicara sendiri, dapat melihat masa lalu dan masa depan serta cenderung lebih matang dari usianya. Karena kecerdasannya di atas rata-rata, maka mereka mampu melakukan hal-hal yang bahkan belum pernah dipelajari sebelumnya. Sebagai contoh , seorang bocah indigo di Jakarta yang berusia 8 tahun memiliki kemampuan lebih, mampu menguasai bahasa Inggris, Arab, bahkan Belanda melebihi kemampuannya dalam berbahasa Indonesia. Dia sanggup menghipnotis ribuan jamaah pengajian yang mayoritas usianya lebih tua dari dia dengan retorika yang indah dan mengena. Dia pun mampu membuat arsitektur rumah berlantai empat sehebat arsitektur kelas dunia.

Madyawati (2011:6) menyatakan,

Karakteristik anak berbakat yang indigo: (1) Memiliki sensitivitas tinggi; (2) Memiliki energi berlebih untuk mewujudkan rasa ingin tahunya yang berlebihan; (3) Mudah bosan; (4) Menentang otoritas bila tidak berorientasi demokratis; (5) Memiliki gaya belajar tertentu; (6) Mudah frustrasi karena banyak ide namun kurang sumber yang dapat membimbingnya; (7) Suka bereksplorasi, tidak dapat duduk diam kecuali pada objek yang menjadi minatnya; (8) Sangat mudah jatuh kasihan pada orang lain; (9) Mudah menyerah dan terhambat belajar jika di awal kehidupannya mengalami kegagalan.

Lebih lanjut Trobler (dalam Madyawati, 2011:5) menjelaskan,

Ciri-ciri anak indigo dalam The Care and Feeding of Indigo Children, yaitu (1) Anak indigo sangat memiliki rasa ingin berbagi serta menghayati hak keberadaannya di dunia serta heran bila ada yang menolaknya; (2) Sering menyampaikan “siapa dirinya sesungguhnya‟ kepada orang tuanya; (3) Sulit menerima otoritas mutlak tanpa alasan, sehingga anak indigo ini tidak pernah mau menunggu giliran; (4) Sangat kecewa bila menghadapi hal-hal tanpa pemikiran kreatif, sering menemukan caranya sendiri tanpa kompromistik; (5) Tampak seperti antisosial, amat sulit bersosialisasi; (6) Tidak merespon terhadap sebuah aturan kaku (misal tunggu sampai ayah datang); (7) Tidak malu meminta apa yang dibutuhkannya.

Erwin (Apsari, 2009:14) mengatakan bahwa “Kriteria utama yang tampak pada anak indigo adalah rasional, spiritual dan mengalami ESP (Extra Sensory Perception)”. Dari ketiga kriteria utama itu, dapat dijabarkan kriteria yang lebih detail sebagai berikut.

1) Rasional.

Rasional berkaitan dengan kecerdasan. Anak indigo memiliki IQ 120-an ke atas. Meskipun tergolong cerdas, anak yang IQ-nya 130 ke atas dan belum tentu indigo Karena indigo juga harus memiliki spiritualitas yang tinggi dan memiliki pengalaman ESP.

2) Spiritual

Menurut Dr. Erwin (Apsari, 2009:16), Anak indigo adalah “Anak-anak yang sangat tertarik dengan Tuhan. Aspek dalam agama ada dua, yaitu ritual dan spiritual. Mereka tertarik dengan agama dan spiritualitas mereka sendiri, mereka tidak terpaku hanya pada ritual”. Anak indigo memiliki persepsi tersendiri mengenai Tuhan dan apa yang dilakukan.

3) Pengalaman ESP

Pengalaman ESP (Extra Sensory Perception) Pengalaman ESP termasuk ke dalam bidang parapsychology. Menurut Henry (dalam Apsari, 2009:16) Parapsychology adalah “Studi mengenai fenomena psychic, yang merupakan pertukaran informasi atau interaksi antara organisme dan lingkungannya, tanpa menggunakan kelima panca indera”.

Bidang parapsychology menurut Apsari (2009), meliputi ESP (Extra Sensory Perception), PK (Psikokinesis), Anomalous experience, dan Apparitional phenomena. ESP (Extra Sensory Perception), yaitu kemampuan mengirim atau menerima informasi tanpa menggunakan kelima panca indera/Sensory Perception (SP) meliputi (1) Telepati, merupakan merasakan pikiran atau perasaan orang lain, (2) Prekognisi, merupakan pengetahuan akan kejadian di masa depan, dan (3) Retrokognisi, merupakan pengetahuan akan kejadian di masa lalu. PK (Psikokinesis), yaitu kemampuan pikiran untuk mempengaruhi atau memindahkan obyek dari jarak tertentu hanya dengan menggunakan pikiran dan intensi tertentu. Anomalous experience, yaitu pengalaman yang berhubungan dengan kematian, seperti pengalaman keluar dari tubuh, mendekati kematian, pengalaman kehidupan yang lalu/ reinkarnasi. Apparitional phenomena, yaitu merupakan pengalaman perseptual akan penampakan makhluk yang sudah mati. Contohnya adalah persepsi penglihatan akan penampakan hantu, alien, roh, atau penglihatan lainnya.

Berdasar pendapat di atas, anak indigo adalah anak berbakat yang memiliki karakteristik rasional, spiritual, dan pengalaman ESP. Karakteristik spiritual dan pengalaman ESP yang menonjol membedakan anak indigo dengan anak berbakat.


2.3 Klasifikasi Anak Berbakat dan Indigo

2.3.1 Klasifikasi Anak Berbakat

Anak berbakat dalam konteks ini adalah anak-anak yang mengalami kelainan intelektual di atas rata-rata. Berkenaan dengan kemampuan intelektual ini Semiawan (1997:24) menyatakan bahwa, “Diperkirakan satu persen dari populasi total penduduk Indonesia yang rentangan IQ sekitar 137 ke atas, merupakan manusia berbakat tinggi (highly gifted), sedangkan mereka yang rentangannya berkisar 120-137 yaitu yang mencakup rentangan 10 persen di bawah yang satu persen itu disebut moderately gifted. Mereka semua memiliki talenta akademik (academic talented) atau keberbakatan intelektual”.

Suparno (2008:3-19) menyatakan,

Beberapa klasifikasi yang menonjol dari anak-anak berbakat umumnya hanya dilihat dari tingkat inteligensinya, berdasarkan standar Stanford Binet, yaitu (1) kategori rata-rata tinggi , dengan tingkat kapasitas intelektual (IQ): 110-119, (2) kategori superior, dengan tingkat kapasitas intelektual (IQ) :120-139, dan (3) kategori sangat superior, dengan tingkat intelektual (IQ) :140-169).


2.3.2 Klasifikasi Anak Indigo

Terdapat 4 macam anak indigo (dalam Madyawati, 2011:3-4), yaitu

1) Humanis. Tipe ini akan bekerja dengan orang banyak. Kecenderungan karier di masa datang adalah dokter, pengacara, guru, pengusaha, politikus atau pramuniaga. Perilaku menonjolnya berupa hiperaktif, sehingga perhatiannya mudah tersebar. Mereka sangat sosial, ramah, dan kokoh berpendapat.

2) Konseptual. Lebih senang bekerja sendiri dengan proyek-proyek yang ia ciptakan sendiri. Kariernya di bidang arsitek, perancang, pilot, astronot, prajurit militer. Dia suka mengontrol perilaku orang lain.

3) Artis. Tipe ini menyukai pekerjaan seni. Perilakunya yang menonjol berupa sensitif dan kreatif. Mereka mampu menunjukkan minat sekaligus dalam 5 atau 6 bidang seni. Namun banyak remaja minat terfokus hanya pada satu bidang saja yang dikuasai secara baik.

4) Interdimensional. Anak indigo tipe ini di masa datang akan jadi filsuf atau pemuka agama. Dalam usia 1 atau 2 tahun, orang tua merasa tidak perlu mengajarkan apapun karena mereka sudah mengetahuinya.


2.4 Masalah Anak Berbakat dan Indigo

2.4.1 Masalah Anak Berbakat

Anak dengan kemampuan dan kecerdasan luar biasa bukan berarti tidak ada masalah dalam belajar. Justru karena potensinya yang luar biasa, jika tidak diberi kesempatan berkembang secara optimum akan menjadi problem belajar tersendiri bagi anak bersangkutan. Rpselli (Santrock, 2010:253) menyatakan, “Anak berbakat yang merasa tidak tertantang dapat mengganggu, tidak naik kelas, dan kehilangan semangat untuk berprestasi. Terkadang anak-anak ini suka membolos, pasif, dan apatis terhadap sekolah”. Selain itu, Ellen Winner (Santrock, 2010:253) mengatakan, “Sering kali anak-anak berbakat akan terisolasi secara sosial dan tidak mendapat tantangan yang berarti di kelas. Mereka kerap di ejek dan dijuluki ‘kutu buku’ atau ‘orang aneh’. Jika seorang murid adalah satu-satunya anak berbakat di kelasnya, maka ia tidak punya kesempatan untuk belajar dengan murid yang setara dengan kemampuannya”.

Menurut Semiawan (1997:198-207), masalah-masalah yang sering dihadapi oleh anak berbakat, yaitu

1) Labeling

Memberikan label pada anak berbakat bahwa ia adalah anak berbakat akan menimbulkan harapan terlalu besar terhadap kemampuan anak dan hal ini dapat menjadi beban mental anak, bahkan anak menjadi frustrasi. Selain itu, anak yang memperoleh label tertentu biasanya dikaitkan dengan label yang diperoleh dalam sifat dan perilaku anak. Seandainya anak mengalami kesukaran belajar, kendatipun anak berbakat, maka label itu terkait dengan kesukaran belajar.

Labeling selain berpengaruh terhadap anak juga mempengaruhi sikap lingkungan (guru, tema sebaya, orang tua, dan saudara) terhadap anak. Sikap lingkungan (guru dan teman sebaya) terhadap anak berbakat bersifat ambivalen. Anak berbakat dikagumi, tetapi dicemburui, bahkan sering juga terisolasikan dan kurang dipercayai. Dalam kehidupan keluarga pun anak-anak ini sering dicemburui, karena diistimewakan seperti pembagian tugas atau pembagian barang tertentu.

Cornel (dalam Semiawan, 1997:204) menemukan bahwa “Orang tua tidak terlalu setuju dengan kecermatan label yang dilabelkan kepada anaknya. Jika kedua orang tua setuju dengan label itu maka reaksi terhadap label itu positif. Sebaliknya, apabila salah satu orang tua atau kedua orang tua tidak setuju, maka timbul sikap negatif terhadap label itu”.

Colangelo dan Brower (dalam Semiawan, 1997:204) memperluas pendapat Cornel dan menemukan bahwa “orang tua sering tidak setuju dengan label berbakat karena ketidaksamaan pengertian terhadap konseptualisasi keberbakatan. Kesukaran yang dihadapi orang tua terutama pada saat permulaan anak diberi label berbakat, kemudian setelah lima tahun tidak terlihat dampak apapun dari keberbakatan itu”.


2) Grading

Grading sudah menjadi sistem yang diintegrasikan dalam sistem persekolahan, dan merupakan lambang tentang keberhasilan dan kemajuan belajar anak-anak. Banyak pihak yang mengkritik bahwa pemberian nilai angka tidak meningkatkan proses belajar bahkan sering menghambat. Pemberian angka memiliki beberapa keuntungan karena bisa menjadikan komunikasi yang baik antara guru dan siswa tentang kemajuan belajar siswa dan menghasilkan suatu pola akademis yang umum tentang siswa, selain juga merupakan dukungan terhadap penelitian pendidikan. Sisi lain, pemberian angka memiliki keterbatasan, seperti angka kurang cermat sehingga kurang mencerminkan kemampuan sebenarnya, bahkan sering tidak memperlihatkan kecermatan. Khusus bagi anak-anak berbakat, penilaian bentuk angka “turut berbicara”, artinya mereka sangat sensitif karena angka menjadi kepedulian yang besar, kadang-kadang terlalu berlebihan.


3) Underachievement

Underachievement merupakan masalah yang paling mencocok dari berbagai masalah yang dihadapi anak berbakat. Keberbakatan tidak selalu menjamin sukses pendidikan atau produktivitas dan kreativitas. Anak-anak berinteligensi tinggi cenderung defensif jika menghadapi risiko dan tekanan sehingga prestasinya menjadi rendah. Tekanan anak-anak berbakat ini antara lain perasaan harus menjadi manusia sempurna sangat intelijen, keinginan untuk menjadi sangat kreatif dan luar biasa, serta kepedulian untuk dikagumi oleh temannya karena penampilan dan popularitasnya. Tekanan-tekanan ini berasal dari keberbakatan anak-anak, yang diinternalisasikan karena orang-orang sekitarnya telah mengagumi keluarbiasaan kemampuan dan ide-ide cemerlang atau pun penampilan anak yang berbeda dari anak lain.


4) Konsep diri

Konsep diri adalah kekuatan dari struktur kognitif yang merupakan interpretasi atau persepsi terhadap kejadian yang melibatkan individu. Masalah anak berbakat mengenai konsep diri adalah sikap anak berbakat terhadap keberbakatan itu sendiri. Anak-anak berbakat memiliki sikap ambivalen. Hasil penelitian Colangelo dan Kelly (dalam Semiawan, 1997:202), menemukan bahwa “Anak berbakat memersepsikan dirinya secara positif, namun menganggap lingkungannya (teman dan guru) memiliki pandangan negatif tentang dirinya”.

Sementara itu Dedi Supriadi (dalam Wahab, 2011:6) menyatakan,

Beberapa masalah khusus yang dihadapi oleh anak berbakat ada empat, yaitu: pertama, masalah pilihan karier yang tidak realistis, anak-anak berbakat cenderung mempunyai pilihan karier yang kurang realistis kurang populer menurut persepsi lingkungannya. Kedua, masalah hubungan dengan guru dan teman sebaya, masalah ini timbul dari konsekuensi dari sifat anak-anak berbakat yang kritis dan tidak selalu ingin melekatkan diri pada otoritas yang menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan teman-teman dan gurunya. Ketiga, masalah perkembangan yang tidak selaras, keunggulan potensi yang dimiliki anak-anak berbakat kadang dapat menimbulkan masalah bagi mereka sendiri dan lingkungannya jika lingkungan tidak dapat mengakomodasi keunggulan potensi tersebut. keempat, masalah tidak adanya tokoh ideal, banyak anak berbakat yang menyukai tokoh-tokoh besar yang menjadi model dalam hidupnya, tokoh-tokoh tersebut bisa berada dekat di sekitarnya dan bisa jauh.

Berdasar uraian di atas, anak berbakat memiliki masalah yang harus dihadapi dan ditangani. Masalah tersebut berupa masalah dari dalam diri dan luar diri (lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat). Masalah yang dihadapi anak berbakat juga harus mendapatkan perhatian dan penanganan. Penanganan yang bijak akan membuat anak berbakat mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, orang tua, masyarakat dan guru harus mampu memberikan layanan yang mampu mengembangkan bakat terhadap anak berbakat.

Baca : Makalah Pelaku Ekonomi

2.4.2 Masalah Anak Indigo

Layaknya anak berbakat, anak indigo juga memiliki berbagai masalah yang harus dihadapi. Masalah tersebut dapat disebabkan dari dalam diri dan luar diri. Masalah dari dalam diri berkaitan dengan konsep diri. Masalah luar diri anak adalah pandangan kontroversial mengenai anak-anak indigo. Pandangan kontroversial mengakibatkan adanya labeling terhadap anak indigo.

Labeling dapat diakibatkan karena kekeliruan diagosa. Menurut Apsari (2009)Terdapat kekeliruan mendiagnosa anak indigo sebagai anak yang mengalami ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) atau ADD (Attention Deficit Disorder). Padahal, anak indigo bukanlah penderita ADD/ADHD, dan anak yang didiagnosis mengalami gangguan ini belum tentu indigo. Anak indigo sering mengganggu temannya karena ia sudah mengerjakan tugas lebih cepat dari anak yang normal, hal ini sering kali salah diartikan dengan hiperaktif. Anak yang menderita ADHD tidak menyelesaikan pekerjaannya. Kasus lain adalah ketika anak indigo bisa melihat makhluk halus di kelas, tentu saja menjadi tidak bisa konsentrasi pada pekerjaannya, karena ia merasa terganggu dan melihat ke arah makhluk tersebut terus menerus, akibatnya pekerjaan tidak selesai. Namun itu bukan karena ia tidak bisa mengerjakan. Hal ini sering salah diartikan sebagai ADD, padahal ada hal lain yang membuat ia terganggu dan orang lain tidak bisa melihatnya.

Di samping adanya perasaan senang karena mereka unik dengan tujuan hidup dan bakat spiritual mereka, anak indigo juga merasa malu akan perbedaannya dengan anak lain.

Carrol dan Trober (Apsari, 2009:20) menyatakan,

Ketika anak indigo dilabel sebagai ADD/ADHD, mereka akan merasakan perasaan bahwa mereka berbeda dan labeling ADD/ADHD tersebut semakin menguatkan bahwa mereka berbeda. Memberi label pada diri sendiri sebagai ADHD atau ADD bisa menjadi perbuatan yang merugikan bagi individu ketimbang gejalanya itu sendiri. Itu semua bisa dengan mudah membuat orang menyangkal mereka dan meremehkan kemampuan mereka. Ini menimbulkan kehilangan semangat, depresi serta lingkaran setan dari perilaku dan suasana hati negatif, yang merampok potensi dan bakat dari diri mereka.

Sekolah juga merupakan perjuangan berat karena bukan hanya dijauhi dan dianggap berbeda, tetapi karena mereka tahu bahwa sebagian besar pelajaran benar-benar tidak berguna dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata atau bahkan karena merasa tidak ada gunanya karena tanpa belajar berjam-jam di sekolah pun mereka sudah mengerti.

Menurut Erwin (Apsari, 2009:22),

Anak indigo sering kali mengalami school refusal atau tidak mau pergi ke sekolah. Mereka juga sering kali melawan lingkungannya, misalnya guru dan sekolah, sehingga mereka sering kali dipersepsikan sebagai ‘anak pemberontak’ atau ‘anak bermasalah’ oleh gurunya. Hal ini bisa disebabkan karena merasa lingkungan atau gurunya tidak bisa mengerti dia. Guru sebagai pihak yang punya otoritas lebih tinggi terkadang tidak mau terima ketika anak indigo punya cara lain untuk menyelesaikan suatu masalah pelajaran, padahal hasil yang diterima sama dengan cara sang guru.


2.5 Identifikasi dan Layanan Pendidikan Anak Berbakat dan Indigo

2.5.1 Identifikasi dan Layanan Pendidikan Anak Berbakat

Prosedur identifikasi anak berbakat bersifat nondiskriminatif dikaitkan dengan ras, latar belakang ekonomi, suku, dan kondisi kecacatan. Suparno (2008:5-16) menyebutkan, “Identifikasi layanan pendidikan bagi anak berbakat di sekolah dasar dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap penjaringan (sreening) dan tahap seleksi”. Menurut Wahab (2011) Penjaringan dapat dilakukan melalui nominasi guru, nominasi orangtua, nominasi teman sebaya, prestasi akademik anak, portofolio, prosedur kerja atau kinerja yang bagus sekali, observasi, mereview catatan siswa, dan tes kelompok. Langkah selanjutnya adalah kerja sama dengan psikolog dan konselor untuk menentukan IQ dan bakat anak. Identifikasi yang umum digunakan adalah menggunakan tes inteligensi (tes IQ), namun tak memungkiri pula digunakan tes lainnya. Setelah teridentifikasi keberbakatan anak, langkah selanjutnya adalah menentukan layanan pendidikan bagi mereka.

Anak berbakat perlu mendapatkan layanan yang berbeda dari anak-anak normal maupun berkebutuhan khusus lainnya. Terdapat beberapa asumsi yang mendasari alasan kenapa anak berbakat perlu mendapatkan pendidikan yang berbeda dengan anak-anak lainnya.

Dantes (2007:11) menyebutkan,

(a) anak berbakat secara kualitatif berbeda dengan anak lainnya, (b) pendidikan khusus bagi mereka sangat menguntungkan, karena sesuai dengan kemampuan mereka, (c) suatu program harus dilaksanakan berdasarkan model instruksional yang terarah, (d) program anak berbakat harus lebih menekankan perkembangan kreativitas dan proses berpikir tingkat tinggi, dan (e) metode pembelajaran bagi anak berbakat lebih berorientasi pada pendekatan induktif.

Sesuai dengan tujuan pendidikan untuk memberikan kesempatan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi mereka, maka anak berbakat perlu mendapatkan pendidikan yang dapat mengakomodasi kelebihan mereka. Pendekatan layanan khusus bagi anak berbakat dan berkesulitan belajar spesifik lebih bersifat pendekatan individual. Pendekatan individual ini lebih memperhatikan potensi yang dimiliki oleh anak.

Di Negara-negara maju, terdapat berbagai jenis program pendidikan untuk siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Menurut Hallahann dan Kaufman (dalam Yusuf:2002, 48), yaitu (1) Pendidikan dasar tidak berjenjang, (2) Diterima lebih awal di perguruan tinggi, (3) Pelajaran-pelajaran perguruan tinggi bagi siswa setingkat sekolah menengah, (4) Pengayaan di kelas-kelas biasa, (5) Percepatan, (6) Program pemberian penghargaan, dan (7) Kurikulum khusus.

Suparno (2008:5-16) menyatakan,

Ada berbagai macam layanan pendidikan bagai anak berbakat yaitu: (1) Layanan akselerasi, yaitu layanan tambahan untuk mempercepat penguasaan kompetensi dalam merealisasi bakat anak; (2) Layanan kelas khusus, yaitu anak yang berbakat unggul dikelompokkan dalam satu kelas dan diberikan layanan tersendiri sesuai dengan bakat mereka; (3) Layanan kelas unggulan, sama dengan layanan kelas khusus hanya berbeda dalam model pengayaannya; (4) Layanan bimbingan sosial dan kepribadian.

Layanan pendidikan terhadap anak berbakat dapat melalui pengayaan, percepatan, dan segregasi. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Philip E. Veron (Wahab, 2011:14), “Acceleration, segregation, and enrichment.

1) Pengayaan (enrichment)

Santrock (2010:253) menjelaskan,

Program pengayaan adalah memberi murid kesempatan untuk mendapatkan pembelajaran yang tidak didapatkan di kurikulum umum. Kesempatan pengayaan dapat disediakan di kelas regular, melalui jam tambahan khusus; melalui guru khusus pendidikan anak berbakat; melalui studi independen, sepulang sekolah, pada hari sabtu atau pada musim panas, dan melalui pelatihan/ magang, atau melalui program kerja/ studi lainnya.

Pengayaan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu (1) Secara vertikal: cara ini untuk memperdalam salah satu atau sekelompok mata pelajaran tertentu. Anak diberi kesempatan untuk aktif memperdalam ilmu Pengetahuan yang disenangi, sehingga menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam, dan (2) Secara horizontal: Anak diberi kesempatan untuk memperluas pengetahuan dengan tambahan atau pengayaan yang berhubungan dengan pelajaran yang sedang dipelajari.

2) Percepatan (scceleration)

Secara konvensional bagi anak yang memiliki kemampuan superior dipromosikan untuk naik kelas lebih awal dari biasanya. Menurut Wahab (2011), percepatan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu

a. Masuk sekolah lebih awal/sebelum waktunya (early admission). Misal, sebelum usia 6 tahun, dengan catatan bahwa anak sudah matang untuk masuk Sekolah Dasar.

b. Loncat kelas (grade skipping) atau skipping class, misal, karena kemampuannya luar biasa pada salah satu kelas, maka langsung dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi satu tingkat (dari kelas satu langsung ke kelas tiga).

c. Penambahan pelajaran dari tingkatan di atasnya, sehingga dapat menyelesaikan materi pelajaran lebih awal.

d. Maju berkelanjutan tanpa adanya tingkatan kelas. Dalam hal ini sekolah tidak mengenal tingkatan, tetapi menggunakan sistem kredit. Ini berarti anak berbakat dapat maju terus sesuai dengan kemampuannya tanpa menunggu teman-teman yang lainnya.

3) Segregasi

Anak-anak berbakat dikelompokkan ke dalam satu kelompok yang disebut “ability grouping” dan diberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar yang sesuai dengan potensinya.

Pendidikan anak berbakat harus diwarnai oleh penekanan pada aktivitas intelektual, kecepatan dan tingkat kompleksitas sesuai dengan kemampuan yang tinggi. Sehubungan dengan itu, jika anak-anak berbakat ditangani dengan program akselerasi, maka ada dua hal penting yang harus diperhitungkan, yaitu (a) dalam program akselerasi, beban belajar yang oleh anak-anak biasa dapat diselesaikan dalam tiga tahun, maka oleh anak-anak berbakat ini hanya dibutuhkan waktu dua tahun. Ini berarti terjadi proses percepatan dalam belajar, dan (b) percepatan ini juga harus mengandung arti kualitatif, yaitu bahwa aktivitas belajar mereka ditekankan pada aktivitas intelektual tinggi. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa, dalam perilaku intelektual, aspek teoretis dan tingkat abstraksi anak-anak berbakat menunjukkan karakteristik mental yang baik dalam melihat hubungan yang bermakna, tanggap mengaitkan asosiasi logis, mudah mengadaptasikan prinsip abstrak ke situasi konkret, serta mampu menggeneralisasikan.

Metode belajar yang relevan adalah metode penemuan (discovery learning) seperti yang dikembangkan oleh Piaget dan Bruner, dan metode induktif. Dalam discovery learning aspek kognitif berkembang melalui penemuan dan pengembangan hipotesis, bukan dengan cara duduk, diam, dengar, dan catat. Discovery learning memberikan tantangan bagi kemampuan berpikir abstrak yang tinggi, dan pelibatan secara aktif dalam menemukan jawaban dan tantangan tersebut. Dengan cara ini, terjadilah penanjakan dinamis dari kehidupan mental yang disebut eskalasi (Semiawan,1997).

Dantes (2007:13) menjelaskan,

Pembelajaran kognitif induktif dideskripsikan melalui empat istilah, yaitu: (a) inquiry, (b) problem solving, (c) discovery learning, dan (d) scientific method. Pembelajaran induktif memiliki rasional yang kuat untuk meningkatkan: (a) penggunaan inteligensia secara optimal dengan memanfaatkan fungsi kedua belahan otak secara penuh, (b) kemampuan peserta didik untuk mengarahkan diri dan tanggung jawab untuk memperoleh kemajuan dalam mencapai sasaran jangka panjang dan jangka pendek, (c) kemampuan untuk mensintesiskan informasi, konsep, dan membuat generalisasi, dan (d) kemampuan mentransper belajar dalam situasi berbeda.

Sistem manapun yang dipilih, penyelenggara harus tetap berpegang pada prinsip bahwa pendidikan itu tidak boleh mengorbankan fungsi sosialisasi nilai-nilai budaya (toleransi, solidaritas, dan kerja sama) kepada anak. Program pendidikan untuk anak-anak berbakat tidak identik dengan perlakuan yang eksklusif dan elitis, melainkan semata-mata supaya untuk memberikan peluang kepada anak didik untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.


2.5.2 Identifikasi dan Layanan Pendidikan Anak Indigo

Tidak jarang anak indigo salah diidentifikasi. Mereka sering dianggap sebagai LD (Learning Disability) ataupun anak. ADD/ HD (Attention Deficit Disorder/ Hyperactivity Disorder). Perbedaannya adalah ketidakajegan munculnya perilaku yang dikeluhkan. Misal, pada anak indigo, mereka menunjukkan keunggulan pemahaman terhadap aturan-aturan sosial dan penalaran abstrak, tapi tak tampak dalam kesehariannya baik di sekolah maupun di rumah. Dengan demikian, pengidentifikasian anak indigo harus dilakukan oleh para ahli seperti psikiater dan psikolog.

Terdapat beberapa tahap identifikasi anak indigo. Menurut Apsari (2009:12), “Tahapan yang dilakukan biasanya adalah: (1) wawancara dengan psikiater anak, (2) evaluasi psikolog klinik anak, dan (3) foto aura”. Alat yang banyak digunakan untuk melihat warna aura adalah Kirlian elektro-fotografi, Aura-2000, dan Aura Video Station (AVS). Hasil foto aura menggambarkan lingkaran aura berwarna-warni yang mengelilingi tubuh. Hasil yang diperoleh dari wawancara, evaluasi psikolog, dan foto aura kemudian dibandingkan untuk mengetahui indigo atau tidak. Setelah teridentifikasi dilakukan pengkajian untuk menentukan langkah selanjutnya berupa pemberian layanan pendidikan.

Fenomena anak indigo diyakini banyak terjadi di dunia, termasuk Indonesia. Menurut Kusuma (dalam Apsari, 2009:12),

Fenomena anak indigo seperti gunung es, hanya sepersepuluh bagian saja yang tampak di permukaan. Perbandingan jumlah populasi antara pria dan wanita pun masih belum diketahui secara pasti. Selain itu, belum ada bukti ilmiah mengenai adanya faktor keturunan pada anak indigo, namun dalam satu keluarga bisa saja terdapat lebih dari satu anak indigo.

Baca : Makalah OJK dalam Ketatanegaraan

Jumlah anak indigo di Indonesia yang diidentifikasi mungkin belum mencapai ratusan tetapi dari yang sedikit itu, jika mendapat bimbingan atau layanan yang yang baik diharapkan mereka kelak menjadi pemimpin masa depan yang arif bijaksana, humanis, dan cinta damai. Anak indigo sudah memiliki modal yang besar untuk menjadi pemimpin masa depan seperti indera keenam, IQ di atas rata-rata, dan bijaksana. Keseluruhan kemampuan tersebut perlu dikembangkan dan diarahkan agar dapat dimanfaatkan. Dengan demikian, perlu adanya identifikasi terhadap anak indigo dan pemberian layanan pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuan anak indigo.

Jika ditinjau dari kemampuan intelektualnya, maka anak indigo sebagai anak berbakat berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan seperti anak berbakat. Namun, menurut Madyawati (2011) akan lebih baik jika anak indigo disekolahkan pada sekolah khusus indigo. Di indonesia sudah terdapat sekolah khusus untuk anak indigo yang dikelola oleh organisasi Indigo Indonesia.

Menurut Soewardi (dalam Madyawati, 2011:3), “Anak-anak indigo mesti disikapi secara hati-hati terutama oleh lingkungan sosial dan keluarganya, karena gejala tersebut adalah gejala ketidakwajaran. Keajaiban anak indigo itu terjadi karena ada kesalahan dalam kinerja otaknya; dengan kata lain sistem kerja otak (neurotransmitter dalam sistem limbik otak) terganggu”. Menurut Erwin (dalam Madyawati, 2009:7), “Di usia anak-anak mereka kerap berontak. Tetapi ketika dewasa, karena sudah dapat menyesuaikan diri, sikap pemberontaknya berkurang”. Dengan demikian, pendampingan terhadap anak indigo sangat diutamakan, agar mereka dapat tumbuh secara wajar. Orangtua, guru, dan masyarakat harus memberi perhatian terhadap anak indigo berkaitan dengan keberbakatannya.

Menurut Madyawati (2011:8),

Tips mengasuh anak berciri indigo, yaitu (1) Hargai keunikan anak, (2) Hindari kritikan negatif, (3) Jangan pernah mengecilkan anak, (4) Berikan rasa aman, nyaman, dan dukungan, (5) Membantu anak untuk berdisiplin, (6) Memberikan mereka kebebasan memilih tentang apapun, (7) Membebaskan anak untuk memilih bidang kegiatan yang menjadi minatnya, karena pada umumnya mereka tidak ingin menjadi pengekor, (8) Menjelaskan sejelas-jelasnya mengapa suatu instruksi diberikan, karena mereka tidak suka patuh pada hal-hal yang dianggapnya mengada-ada, dan (9) Menjadikan diri sebagai mitra dalam membesarkan mereka.

Lebih lanjut, menurut Madyawati (2011:10),

Hal-hal yang harus dilakukan guru: (1) Jadilah pendengar yang baik; (2) Gunakan pernyataan positif; (3) Sediakan waktu untuk berdiskusi dengan anak indigo; (4) Saling berbagi perasaan antara guru dengan anak indigo; (5) Ciptakan suasana kekeluargaan dalam kelas dengan aturan kelas yang dibuat bersama; (6) Menetapkan konsekuensi berdasarkan penyebab masalah.

Kerjasama orangtua, guru, teman sebaya, dan masyarakat dalam pemberikan layanan pendidikan sangat dibutuhkan agar anak indigo dapat mengaktualisasikan dirinya. Anak indigo sangat membutuhkan positive regard yang berupa kehangatan, penerimaan, penghargaan, simpati, kasih sayang, dan cinta kasih dari orang lain tanpa mendiskriminasi keunikan yang mereka miliki. Anak indigo harus diarahkan agar mensyukuri apa yang dimilikinya sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat.


Penutup 

3.1 Simpulan

Uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) Anak berbakat adalah anak yang oleh orang-orang profesional diidentifikasi memiliki IQ di atas rata-rata, kreativitas di atas rata-rata, dan mampu mengaitkan diri terhadap tugas dengan cukup baik sehingga mampu mencapai prestasi tinggi sehingga membutuhkan pendidikan khusus. Sementara, anak indigo adalah anak berbakat yang menunjukkan seperangkat atribut psikologis baru dan luar biasa.

2) Anak berbakat memiliki karakteristik positif dan negatif bergantung penanganannya. Anak indigo menonjol dalam spiritual dan pengalaman ESP.

3) Anak berbakat dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kategori rata-rata tinggi, superior, dan sangat superior. Anak indigo diklasifikasikan menjadi empat, yaitu humanis, konseptual, artis, dan interdimensional.

4) Masalah yang dihadapi anak berbakat meliputi: (1) Labeling, (2) Grading, (3) Underachievement, dan (4) Konsep diri. Masalah anak indigo meliputi masalah anak berbakat, namun sering kali diakibatkan karena kekeliruan dalam identifikasi dan pandangan kontroversial mengenai anak indigo.

5) Identifikasi anak berbakat di sekolah dasar dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap penjaringan (sreening) dan tahap seleksi (identifikasi). Layanan yang diberikan berupa pengayaan, percepatan, dan segregasi. Identifikasi anak indigo melalui (1) wawancara dengan psikiater anak, (2) evaluasi psikolog klinik anak, dan (3) foto aura. Anak indigo dapat disekolahkan pada sekolah khusus.


3.2 Saran

1) Anak berkebutuhan khusus, khususnya Anak berbakat dan indigo harus diberi perhatian dan layanan pendidikan yang memadai agar bakat mereka dapat dikembangkan.

2) Identifikasi anak berbakat perlu dikedepankan di sekolah-sekolah agar masalah-masalah anak berbakat dapat diminimalkan.

3) Identifikasi anak indigo harus dilakukan secara intensif agar tidak terdapat kekeliruan diagnosa.
Daftar pustaka


Daftar Pustaka

Apsari, Indri. 2009. “Gambaran Konsep Diri Anak Indigo”. Tersedia pada http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125230-155.2%20IND%20g%20%20Gam baran%20konsep%20-%20Pendahuluan.pdf (diakses tanggal 28 Maret 2015)

Dantes, Nyoman. 2007. “Persepektif dan Kebijakan Pendidikan Menghadapi Tantangan Global (Suatu Keharusan Peningkatan Profesionalisme Guru)”. Makalah disajikan dalam Seminar Peningkatan Mutu dan Profesionalisme Guru SMK Negeri 1 Denpasar. Denpasar. 22 September 2007.

Madyawati, Lilis. 2011. “Generasi Indigo”. Tersedia pada http://jurnal.ummgl.ac.id/index.php/fkip/article/view/91 (diakses tanggal 28 Maret 2015).

Munandar, S.C.U. 1999. Kreativitas dan Keberbakatan: Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT Gramedia.

Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Terjemahan Tri Wibowo B.S. Educational Psychologi, 2nd Edition. 2004. Cetakan Ke-3. Jakarta: Prenada Media Group.

Semiawan, Conny. 1997. Persepektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: PT Grasindo.

Suhamini, Tin. 2007. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Direktorat Ketenagaan.

Suparno. 2008. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.

Wahab, Rochman. 2011. “Mengenal Anak Berbakat Akademik dan Upaya Mengidentifikasinya”. Tersedia pada http://staff.uny.ac.id/sites/ default/files/lain-lain/rochmat-wahab-mpd-ma-dr-prof/mengenal-anak-berbakat-akademik-dan-mengidentifikasikannya.pdf. (diakses tanggal 28 Maret 2015).

Yusuf, Munawir, dkk. 2002. Pendidikan Kompensatoris Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Makassar: Universitas Negeri Makassar.

-------. 2003. Pendidikan bagi Anak dengan Problema Belajar. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.